Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik hal itu direncanakan maupun tidak direncanakan, demikian yang tertulis dalam Undang Undang Penataan Ruang.Â
Sedangkan penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, jadi dalam penataan ruang ada tiga kegiatan yang harus terjadi dan dilaksanakan. Ruang yang telah ditata dalam bentuk rencana tata ruang, akan menjadi guidance dan dasar dalam pemanfaatan ruangnya.
Namun demikian dalam praktek banyak terjadi penyimpangan dalam penggunaan ruang. Jika ditelusuri, terdapat banyak sebab hal itu bisa terjadi, antara lain, dokumen tata ruang tidak disertai dengan informasi tentang daya dukung dan daya tampung lingkungan.Â
Daya dukung lingkungan, sebagaimana disebutkan dalam Undang Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung peri kehidupan manusia dan mahluk hidup lain.Â
Sedangkan daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/ atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.Â
Kemudian, kita ketahui bersama bahwa orientasi pembangunan lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada kepentingan lain yang menyangkut langsung ke masyarakat banyak, dengan dalih, kalau ekonomi wilayah baik maka otomatis ekonomi rakyat juga akan ikut baik, benarkah demikian?
Tidak adanya informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan membuka kemungkinan terjadinya penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukan-nya.Â
Kesalahan dalam penataan ruang ini biasanya terjadi akibat hanya berkonsentrasi terhadap kekuatan pasar (market driven). Tidaklah mengherankan jika terdapat pameo bahwa TATA RUANG itu sebenarnya adalah TATA UANG. Karena yang memiliki power merubah ruang, adalah kalangan pemilik modal.
Kepala Daerah sebagai manajer kota atau kabupaten, harus berani mengambil keputusan bahwa tata ruang yang ada di wilayahnya bukanlah tata uang yang hanya menguntungkan para pemilik modal saja.
Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, menunjukkan bahwa kekuasaan memiliki korelasi positif dengan kekayaan, makin tinggi kekuasaan yang dimiliki, makin besar pula kekayaan yang dia dapatkan. Tidak ada dalam sejarah kita bahwa seorang penguasa atau mantan penguasa menjadi miskin.
Pada era reformasi sekarang ini, kekuasaan ada ditangan politik, siapa yang bisa menguasai politik maka dia akan tampil sebagai penguasa wilayah, dan akhirnya akan berkuasa dibidang ekonomi juga. Maka tidak heran kalau orang yang sudah kaya juga tertarik untuk masuk ke dunia politik, karena hal ini bisa melanggengkan kekayaan yang telah dia miliki.
Ketegaran seorang Kepala Daerah, walaupun awalnya dia naik panggung pemerintahan adalah mewakili atau lewat jalur politik, tetapi ketika sudah menjadi kepala daerah, harus merubah perilaku dalam berjuang untuk kepentingan masyarakat, tanpa pilih kasih.Â
Bukan suatu hal yang mudah untuk merubah perilaku dan sikap tersebut, kuncinya hanya satu, yaitu mau mendengarkan suara rakyat, bukan hanya mendengarkan suara kaum elite yang menjadi partner atau rekan kerjanya di partai saja.Â
Seseorang yang sudah menyatakan diri sanggup menjadi kepala daerah, meskipun dalam proses menuju jabatan tersebut harus ada dukungan dana dari para pengusaha maupun partainya, bukan berarti setelah jadi kepala daerah kemudian harus tunduk dengan para donor untuk berbuat sesuatu yang menyimpang dari kontrak politiknya terhadap rakyat, yaitu menyejahterakan kehidupan rakyatnya.
Selamat bersaing dengan jujur dan baik dalam pilkada mendatang, jadilah pemimpin untuk rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H