Mohon tunggu...
Lukman Darwis
Lukman Darwis Mohon Tunggu... Wiraswasta - masyarakat biasa yang suka informasi

Simpel, Selalu Berpikir Positif

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Golput Masih Menghantui

12 April 2019   07:55 Diperbarui: 12 April 2019   08:33 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Berbicara tentang golput, teringat sebuah ungkapan sedikit lucu terkait dengan keberadaan golput dalam kegiatan kepemiluan yaitu "Golput sebenarnya jumlahnya sedikit cuma temannya yang banyak".  Ungkapan ini mengingatkan pada sebuah teka-teki tentang keberadaan nyamuk di sebuah rumah dimana nyamuknya cuma satu tapi temannya yang banyak.  

Sebuah ungkapan yang belum teruji kebenarannya secara ilmiah tetapi secara kasat mata muncul aksi sekelompok orang yang secara terang-terangan mengikrarkan diri akan golput dengan berbagai alasan yang masuk akal.  

Persoalannya adalah isu seperti ini bisa saja dimanfaatkan oleh oknum tertentu dan sangat mudah menyebar  melalui berbagai media yang bukan tidak mungkin akan mempengaruhi orang lain untuk tidak ikut memilih.

Golongan putih atau yang disingkat golput bukanlah istilah baru hari ini. Secara historis golput berawal dari gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda pada pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru.  Kontestan partai politik yang ikut pemilu saat itu  jauh lebih sedikit dari Pemilu 1955.  

Kondisi penyelenggaraan Pemilu 1971 yang tidak ideal tersebut memunculkan protes dari para pemuda dan mahasiswa  dengan membuat gerakan untuk datang ke kotak suara dan menusuk kertas putih di luar tanda gambar, sehingga tanda coblosannya dianggap tidak sah, dan tak dihitung.  Sejak itulah istilah golput muncul karena adanya coblosan bagian kertas putih di surat suara.

Ketidakhadiran pemilih di TPS dilatarbelakangi dengan berbagai alasan sehingga golput dibagi kedalam dua kelompok besar yaitu golput yang disebabkan oleh faktor eksternal dan  golput karena faktor internal.  Golput faktor eksternal yaitu faktor atau alasan yang datang dari luar diri pemilih.  

Kelompok ini disebabkan oleh dua alasan yaitu (1) alasan administrative seperti tidak terdaftar di DPT, DPTb, tidak mendapat surat pemberitahuan (C6),  tidak memiliki E-KTP sehingga tidak bisa terdaftar sebagai Daftar Pemilih Khusus (DPK).  (2) alasan teknis seperti sedang bepergian, sakit, terlalu banyak partai atau calon.

Golput karena faktor internal adalah faktor yang bersumber dari dirinya sendiri.  Golongan ini disebabkan tiga alasan yaitu (1) pilihan rasional/ekonomi politik seperti sibuk bekerja/sekolah, menganggap pemilu tidak akan membuat perubahan atau tidak ada manfaatnya, tidak ada yang memberikan  atau menjanjikan hadiah.  (2) alasan sosiologis seperti bingung dengan banyaknya pilihan partai politik dan calon (pemilu legislatife), malu untuk datang ke TPS. (3) alasan ideologis seperti bertentangan dengan ideologi, ketidakpercayaan pada penyelenggara, tidak percaya dengan calon dan tidak ada calon yang dirasa cocok.

Berdasarkan hasil penelitian terkait "Realitas Perilaku Pemilih Tasikmalaya di Bilik TPS" menunjukkan faktor sedang bepergian, sibuk bekerja dan masalah administrasi menjadi presentase tertinggi yang menjadi penyebab ketidahadiran pemilih di TPS pada pileg dan pilpres tahun 2009 dan 2014.  

Pada pileg 2009, golput dengan alasan sedang bepergian mencapai 36,6 %,  dan  sibuk bekerja dan masalah administrasi keduanya mencapai 18,18%.  Sementara pada pilpres 2009 alasan sedang bepergian mengalami penurunan menjadi 27,27 %,  dan  sibuk bekerja dan masalah administrasi keduanya mencapai 18,18%. 

Pada pemilu 2014, untuk pileg alasan sibuk bekerja/sekolah menjadi yang tertinggi mencapai 50%, disusul alasan sedang berpergian mencapai 25% dan masalah administrasi sebesar 8,33%.  Sementara pilpres 2014, alasan  sedang bepergian mencapai 47,50 %,  dan  sibuk bekerja sebesar 32,25% dan masalah administrasi mencapai 9,75%. (KPU RI 2014).

Ketiga faktor diatas sepertinya akan tetap menjadi alasan utama ketidakhadiran pemilih di TPS diPemilu serentak 2019  namun diharapkan jumlahnya  menurun dengan melihat antisipasi dari KPU seperti beberapa kali dilakukan perbaikan Daftar Pemilih Tetap, adanya program sosialisasi dengan berbagai bentuk, secara terstruktur dan masif.  

Sementara alasan bepergian dan alasan  sibuk bekerja/sekolah setidaknya dapat diantisipasi dengan dikabulkan uji materi terhadap pasal 210 ayat (1)  UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu terkait pindah memilih melalui  putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 20/PUU-VII/2019.   

Dimana pengajuan pindah memilih yang sebelum  hanya dapat dilakukan paling lambat 30 hari sebelum hari pencoblosan menjadi paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pencoblosan. 

Pemilu pasca reformasi terjadi pergerseran wajib pilih menjadi hak pilih yang menyebabkan golput tidak dilarang oleh undang-undang dan golput juga bukan perbuatan kriminal. Namun yang  dapat terkena delik hukum adalah bila terbukti melakukan perbuatan yang menyebabkan pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya sebagaimana diatur dalam UU No. 7 tahun 2019 tentang Pemilu.

Pada Pasal 498 " seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seseorang pekerja/karyawan untuk memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, kecuali denganalasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12 juta".  

Kemudian di pasal 510: "Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta,.

Pasal 515: "Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta."

Kekhawatiran akan meningkatnya angka golput tidak hanya menjadi perhatian  penyelenggara pemilu, partai politik, dan pemerintah tetapi juga dari MUI (Majelis Ulama Indoenesia). . Perhatian MUI dalam menyukseskan pemilu dibuktikan dengan keluarnya fatwa yang mewajibkan umat islam untuk memilih.  Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (DP MUI) Din Syamsuddin meminta umat islam agar tidak golput dan memilih pemimpin merupakan kewajiban kebangsaan dan keagamaan (tempo.co).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun