Basilio Dias Araujo resmi dilantik sebagai Ketua Ikatan Alumni Fakultas Sastra dan Bahasa (Ikafasas) Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta pada Minggu, 29 Agustus 2021. Basilio menggantikan Tika Sinaga yang sebelumnya menjabat Ketua Ikafasas UKI. Pelantikan digelar secara sederhana dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat di Gedung Rektorat, Kampus UKI Cawang.
Dalam pernyataan pertamanya sebagai Ketua Ikafasas UKI periode 2021-2025, Basilio yang kini menjabat Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi, Kemenko Kemaritiman dan Investasi, ini mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadanya. "Ini kepercayaan yang tidak bisa saya tolak. Saya berutang banyak kepada fakultas dan kampus ini," ujar Basilio.
Kesediaan Basilio menerima amanah tersebut tidak bisa dipisahkan dari kisah masa lampau saat mulai berkuliah di UKI pada 1986. Sebetulnya, berkuliah di UKI bukanlah tujuan Basilio, yang kala itu berstatus sebagai seorang pemuda dari 'zona perang' Provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste). Kedatangan Basilio ke Jakarta adalah untuk persiapan keberangkatan ke Kanada dalam rangka program beasiswa dari pemerintah Indonesia. Sayangnya, Basilio harus menerima kenyataan gagal ke Kanada, sehari sebelum jadwal keberangkatan.
Ada dua pertimbangan kenapa program beasiswa tersebut dibatalkan. Pertama, Basilio sebagai putera asli Timor Timur dikhawatirkan akan menjadi 'sasaran' pers internasional, berpotensi dijadikan sebagai narasumber oleh media-media internasional yang pada akhirnya bisa mengganggu citra Indonesia di mata dunia. Maklum, saat itu gejolak disintegrasi Timor-Timur sedang memanas. Kedua, ada kekhawatiran Basilio akan 'kabur', alias berubah kewarganegaraan. "Saya pun bingung waktu itu harus berbuat apa," kenang Basilio.
Namun tangan Tuhan kemudian menolong Basilio ketika sudah berada di ujung harapan. Bantuan itu datang lewat seorang dosen Fakultas Ekonomi UKI yang juga bekerja di Kedubes AS di Jakarta, Profesor Sihombing. Kebetulan, anak dari Profesor Sihombing yakni Meinor Sihombing juga bernasib sama seperti Basilio yakni gagal berangkat ke Kanada dalam program beasiswa. "Waktu itu saya kaget saat Meinor menawarkan saya untuk tinggal di rumahnya. Sama sekali tidak menyangka bantuan dari mereka. Saya diperlakukan layaknya anak oleh keluarga Profesor Sihombing," kata Basilio yang sangat fasih berbahasa Portugis ini.
Gagal ke Kanada, Basilio mau tak mau harus melanjutkan kuliah di Jakarta. Ada tiga jurusan yang diminati Basilio: Filsasat, Psikologi, dan Sastra Inggris. Celakanya, saat itu jadwal pendaftaran mahasiswa baru untuk jurusan Filsafat STT Driyarkara Jakarta sudah ditutup. Sementara jurusan Psikologi di Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung masih dibuka. Hanya saja, Basilio tidak berminat kuliah di luar Jakarta. "Saya harus kuliah di Ibu Kota," tekadnya.
Untuk pilihan ketiga, Profesor Sihombing kemudian berupaya agar Basilio bisa kuliah meski jadwal pendaftaran sudah 'ditutup'. Alhasil, Basilio kemudian diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Sastra UKI. "Beliau yang urus semua, saya tinggal kuliah," ujar Basilio mengenang kebaikan Profesor Sihombing.
Tak mudah bagi Basilio untuk menyesuaikan diri di kota Metropolitan baik dari segi penampilan dan komunikasi. Sebagai pemuda Timor, Basilio tampil dengan rambut kribo mirip artis fenomenal kala itu, Ahmad Albar. Paling kentara, adalah soal bahasa. "Bahasa Indonesia saya waktu itu masih belum beres. Sangat baku sekali, misalnya "Hendak ke manakah kita hari ini?" ujar Basilio mencontohkan ucapannya berbahasa Indonesia.
"Teman-teman mungkin mau tertawa, tetapi mereka mungkin kasihan sama saya," tambah Basilio sembari terbahak-bahak.
Perlahan, pergaulan Basilio kian membaik. Ia kemudian aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa seperti basket dan sepakbola bersama dengan teman-temannya antara lain Lalu (almarhum), Manahan, Hansel, Hendrio dan lainnya. Selanjutnya, Basilio Cs kemudian membentuk tim penelitian bahasa yang kala itu dipimpin Profesor Nababan. Salah satu penelitian yang digarap Basilio Cs adalah bahasa daerah di NTT, yang ternyata menjadi penelitian pertama untuk morfologi bahasa di NTT.