Jantung berdebar-debar, telapak tangan berkeringat, panik luar biasa hingga takut mati. Fix, jika pernah mengalaminya, Anda tak sendiri. Masih ada saya dan belakangan saya tahu ternyata sangat banyak yang mengalami hal serupa.
Di sebuah channel YouTube milik dokter Andri, spesialis kesehatan jiwa, saya kemudian menemukan betapa banyaknya orang yang nasibnya hampir mirip dengan saya. Mereka disebut menderita psikosomatika. Sudah pasti, saya salah satu subscriber setia channel beliau.
Pun begitu, saya sebut mirip karena memang tidak seratus persen serupa. Itu karena saya juga sempat divonis mengalami penyumbatan pembuluh darah jantung hingga 50 persen. Bahkan, kisah "sakit jiwa" ini pun bermula ketika saya mengalami serangan jantung mendadak dalam perjalanan naik motor dari kantor ke rumah. Tepatnya menjelang malam di sekitar Pasar Minggu, Jakarta Selatan, akhir Juni 2020. Beruntung, dalam kondisi jantung berdebar kencang dan panik luar biasa, saya masih sanggup mengendarai sepeda motor hingga ke RSUD Jatipadang.
Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika saya gagal menemukan rumah sakit secepat mungkin. Mau minta tolong ke warga sekitar? Rasanya kecil kemungkinannya mengingat di masa pandemi sekarang.
Anehnya, saya hanya dirawat di IGD RSUD Jatipadang selama kurang lebih 5 jam. Tak diberikan obat sama sekali kecuali cukup memasangkan selang oksigen. Oh ya, saya juga dipasangi alat EKG untuk memeriksa kondisi jantung. Hasilnya? Semua normal tak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebagai bekal pulang, saya diberikan obat lambung dan vitamin. Begitulah awalnya saya mulai curiga kena penyakit jantung.
Belum puas, beberapa hari kemudian saya kembali memeriksakan diri ke klinik dekat rumah. Hasilnya, lagi-lagi normal. Jantung yang berdebar kencang dipastikan aman. Tapi saya tetap saja belum puas hingga pergi ke IGD RSU HGA Depok. Di sana, kembali dilakukan pemeriksaan EKG dengan hasil yang sama: normal. Dalam hati, kok bisa normal ya, padahal jantung rasanya seperti berada di sirkuit balapan.
Masih belum puas, saya kembali ke rumah sakit yang sama beberapa hari kemudian. Kali ini saya menemui dokter spesialis penyakit dalam dengan berbekal surat rujukan dari klinik. Kembali, pemeriksaan EKG dilakukan yang hasilnya kembali dinyatakan normal. Oh my God, total tiga kali dipastikan aman. Tapi jantung kok berdebar kencang terus?
Baiklah, saya akhirnya menempuh jalan terakhir. Langsung ke dokter spesialis jantung dan menggunakan biaya pribadi alias non BPJS. Asumsinya, pemeriksaan EKG saya mungkin saja "ecek-ecek" karena menggunakan BPJS. Namun lagi-lagi, hasilnya EKG yang dilakukan atas biaya pribadi ternyata hasilnya tetap normal.
Namun, di sinilah keberuntungan saya dimulai. Ketika ditangani seorang dokter yang asli "anak Medan". Namanya dokter Munadi, SP. KKV. Dengan gaya Medan-nya, beliau menganjurkan saya untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut yakni CT SCAN.
"Kau urus surat rujukan ke klinik, bawa ke sini. Nanti kau periksa CT SCAN biar lebih akurat. Pakai BPJS saja karena ini mahal" begitu pesan dokter Munadi, seorang dokter yang menurut saya sangat menjiwai profesinya.
Titah dokter Munadi ternyata betul adanya. Saya dinyatakan mengalami penyumbatan pembuluh darah jantung 40-50 persen usai menjalani pemeriksaan CT SCAN di RS Jantung Jakarta atau Jakarta Heart Center di Matraman, Jakarta Timur. Agar lebih pasti, dokter Munadi menganjurkan operasi kateterisasi jantung. Singkat cerita, saya akhirnya menjalani operasi kateter jantung yang dipimpin langsung oleh dokter Munadi. Itulah kali pertama dan semoga yang terakhir, saya melihat secara langsung ruang operasi.
Usai memasukkan kamera dari urat nadi tangan kanan menuju jantung, dokter Munadi kemudian berujar: "Pardosi, kau boleh pulang sore ini. Aman ini jantungmu," begitu kata dokter Munadi. Dengan kata lain, jantung saya belum memerlukan "Stent" atau "ring" dalam bahasa awamnya.
Itu karena penyumbatannya masih 50 persen atau sama dengan hasil CT SCAN. Namun jika penyumbatannya sudah mencapai 70 persen, mau tidak mau pemasangan "ring" wajib dilakukan. Bahkan, mungkin saja operasi "by pass" harus dilakukan apabila penyumbatannya di atas 70 persen.
Ke Dokter Jiwa
Saya menjalani operasi kateter jantung pada 21 September 2020 dan diizinkan pulang di hari yang sama. Namun sebetulnya, dalam tiga bulan terakhir saya mengalami kurang tidur, cemas, dan sensasi dada terasa terbakar.
Seminggu usai kateter, saya kembali meminta dokter Munadi untuk merujuk saya ke dokter jiwa alias psikiater. Saya kemudian mendatangi dokter Laeli, dokter jiwa di RS HGA Depok. Oleh dokter Laeli, saya diberikan obat penenang dan vitamin B6 (vitamin saraf otak). Ternyata manjur, usai mengonsumsi obat itu, saya merasa lebih tenang dan bisa tidur nyenyak. Pikiran cemas perlahan menghilang walau sesekali tak bisa juga dihindari. Satu lagi, sensasi sempoyongan yang selalu hadir dalam sebulan terakhir, juga perlahan menghilang.
Sejujurnya, saya sampai sekarang masih penasaran: apakah saya sakit jantung atau sakit jiwa? Padahal, dokter Munadi sendiri sudah menyatakan jantung saya sudah sehat sehingga tidak perlu mengonsumsi obat jantung lagi. Masa sih saya tidak percaya omongan dokter spesialis jantung? Nah, di sinilah menurut saya letak penyakit jiwa itu. Ketika saya kehilangan kepercayaan diri yang sangat drastis. Pikiran berkecamuk tak karuan.
Apalagi, gejala penyakit jantung dan penyakit jiwa sangat mirip. Yakni itu tadi, jantung berdebar, tangan berkeringat, cemas, panik, sempoyongan, dan mudah lelah. Paling tidak itu menurut yang saya baca di internet.
Bagi Anda yang mungkin mengalami hal serupa seperti saya, jangan pernah ragu untuk secepatnya menemui dokter jantung atau dokter jiwa. Jangan pernah malu atau takut menemui dokter jiwa.
Selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia 2020
*Demikian sekilas pengalaman setelah cukup lama vakum di Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H