Jalanan Jakarta sepi dan lengang biasanya hanya hadir satu tahun sekali. Ketika Lebaran sudah tiba. Saat kaum urban Jakarta dan sekitarnya ramai-ramai mudik ke kampung halaman. Meninggalkan Ibu Kota yang sesak walau hanya sejenak. Mereka pulang membawa sukacita meski hanya sebentar saja. Lewat seminggu, mereka kembali ke Jakarta untuk melanjutkan perjuangan hidup. Mengais rezeki demi rezeki yang tak seberapa.
Semoga kalimat pengantarnya sudah cukup lebay, yah. Kalau belum cukup dramatis, silakan tambahkan di kolom komentar. Baiklah, mari kita langsung ke pokok masalah.
Virus corona betul-betul membuat merana. Tak hanya warga Jakarta, nasib serupa juga dialami warga di sekitarnya, Depok, Bogor, Bekasi, maupun Tangerang. Bahkan, sejujurnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia.
Jangankan di Jakarta, di kampung saya nun jauh di pelosok Sumut saja sudah ada kebijakan meliburkan sekolah. Betapa dahsyat memang virus corona.
Jakarta tercatat sebagai kota paling banyak terinfeksi corona. Wajar, mengingat Jakarta merupakan kota yang paling padat penduduk dan sebagai pintu masuk paling ramai dari maupun ke luar negeri.
Kabar baiknya, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dengan peralatan canggih dan lengkap juga ada di Jakarta. Paling tidak, penderita corona akan jauh lebih baik penanganannya ketimbang rumah sakit di daerah.
Namun, ancaman corona rupanya sudah sangat serius. Sampai-sampai, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan harus melakukan berbagai macam upaya pencegahan. Termasuk mengambil kebijakan isolasi alias lockdown.
Seluruh kegiatan dikunci rapat. Walaupun kita tahu, opsi lockdown ini kemudian menimbulkan gesekan politik terutama bagi Presiden Jokowi.
Mendapat tekanan dari pusat, Gubernur Anies kemudian 'merevisi' opsi lockdown dengan menerbitkan Seruan Gubernur yang isinya meminta agar kegiatan perkantoran maupun hiburan di Jakarta untuk sementara ditekan seminimal mungkin. Namanya juga seruan, boleh dituruti dan boleh dilanggar kalau memang situasinya tidak memungkinkan.
Di saat bersamaan, Presiden sebisa mungkin menghindari keputusan lockdown seperti yang diwacanakan Anies. Presiden menilai keputusan lockdown di Jakarta sebagai ibukota negara hanya bisa dilakukan oleh seorang Presiden, bukan oleh Gubernur. Sulit dibayangkan betapa "horornya" Jakarta kalau pada akhirnya terpaksa kena lockdown.
Ini bukan soal horor yang berkaitan dengan hantu-hantu seperti di film. Ini adalah kenyataan yang sebenarnya, yang jauh lebih seram dari film horor berstatus fiksi. Bukan juga hanya soal jalanan Jakarta yang sepi dan lengang seperti saat Lebaran tiba. Bukan itu.
Jauh lebih seram dari itu karena langsung menyasar ke sektor paling fatal yakni ekonomi. Roda perekonomian akan berhenti yang otomatis berdampak pada krisis hingga rawan menimbulkan kerusuhan sosial dan politik. Sederhananya, bayang-bayang tragedi '98 mungkin bisa menggambarkan betapa repotnya nanti Ibu Kota.
Lihat saja, menurut para pakar ekonomi, sebanyak 70 persen peredaran uang berada di Jakarta. Bisa dibayangkan kalau Jakarta nanti berubah menjadi 'kota mati'.
Maka uang sebanyak itu akan mengalami pelambatan total yang secara langsung akan memukul perekonomian secara nasional. Belum lagi pukulan telak yang bakal dialami oleh pekerja informal yang jumlahnya juga tak sedikit.
Sehingga, suka atau tidak suka, dan bukan bermaksud meremehkan kerja keras pemerintah sejauh ini, pukulan virus corona kali ini betul-betul membuat kelabakan semua pihak.
Anies sebagai gubernur ingin melindungi warganya, tetapi di sisi lain Presiden sangat mengkhawatirkan bencana yang jauh lebih dahsyat, baik secara ekonomi maupun secara politik.
Bila disimpulkan secara singkat, seruan Anies bukan hanya sekadar menjadikan Jakarta mirip kota mati. Tetapi lebih dari itu, ada ancaman cukup serius yang kini mengintai Istana. Semoga saja Indonesia tetap dilindungi Tuhan Yang Maha Kuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H