Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Di Bali, Anda Boleh Berlagak Jagoan!

15 Februari 2020   22:05 Diperbarui: 15 Februari 2020   22:31 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menikmati Sunset di Pantai Kuta (Dokpri)

Sebelum menuliskan soal wisata Bali yang menggiurkan itu, sebelumnya saya ingin membuat pengumuman. Empat tulisan saya di Kompasiana tercinta ini gagal menembus label 'pilihan'. Berturut-turut pula.

Jika tulisan ini mengikuti jejak pendahulunya, berarti tembus yang kelima. Admin Kompasiana sepertinya sudah layak memberikan hadiah, mungkin berupa payung atau mug. Terlalu! Semoga kali ini bisa menembus 'pilihan', syukur-syukur 'Headline'. 

Bimsalabim...

Begini, sebulan lalu sebelum isu virus corona merebak, saya untuk pertama kalinya menginjak Pulau Bali. Dalam rangka tugas kerja, memang. Tetapi masih bisalah diselip-selipkan sedikit berwisata. Ternyata, menikmati sunset di Pantai Kuta sungguh dinanti-nantikan banyak wisatawan.

Saya yang sebetulnya kurang tertarik dengan wisata alam, ikut terbawa suasana. Barangkali karena pengaruh wisatawan 'bule' juga. Saya kira Anda sudah paham maksudnya, tidak perlu dituliskan di sini secara detail dan komprehensif. Takut nanti malah dituduh macam-macam.

Namun yang paling menggiurkan bagi saya adalah keleluasaan wisatawan menikmati keindahan pantai. Mereka menganggap pantai itu seperti milik sendiri. Tak ada rasa sungkan atau takut ditegur 'anak muda setempat'. Pokoknya bebas, tanpa perlu 'jaim'.

Sebagai orang yang lahir di daerah Tapanuli (Sumut) yang masih kental budaya Batak, saya merasa takjub dengan masyarakat Bali yang mampu bersikap 'cuek' dengan kedatangan wisatawan. Tidak merasa risih sama sekali. Serasa menjadi 'jagoan'.

Saya kemudian ingin membuktikan seberapa cuek masyarakat Bali. Caranya dengan melepas kaos sambil berjalan sepanjang pantai Kuta. Dilanjutkan menyusuri jalan raya di sekitar pantai, termasuk saat mengunjungi Monumen Bom Bali.

Sambil berjalan kaki bersama dua orang kolega, saya tak lupa menenteng sebuah botol minuman beralkohol kadar rendah. Saya menghitung ritual jalan kaki sembari menenteng minuman itu memakan waktu hingga 1 jam lamanya.

Tapi apa yang terjadi? Tak satupun masyarakat Bali yang terlihat tidak suka dengan gaya saya. Mereka cuek saja. Padahal saya memang sengaja bergaya seperti itu untuk mengujicoba sejauh mana tingkat 'kebebasan' wisatawan di Bali. Hasilnya, masyarakat Bali memang top markotop. Tak satupun yang protes.

Saya kemudian membayangkan jika saya melakukan itu di sekitar Danau Toba. "Bisa-bisa ada yang panggil terus ditanyain macam-macam," begitu kata saya kepada teman.

Sikap cuek seperti itulah yang menurut saya sulit dipraktekkan masyarakat di sekitar Danau Toba. Bukan apa-apa, masyarakat Batak masih menganut ego yang sangat tinggi, yang pantang 'ditantang' orang pendatang.

Sementara di Bali, wisatawan yang berstatus pendatang malah dianggap sebagai teman. Atau setidaknya dianggap sumber penghasilan. Tak lebih. Namun bukan berarti masyarakat Bali juga tidak bisa 'marah' apabila wisatawan berperilaku tidak sopan terutama bila menyangkut objek-objek yang dianggap suci.

Menikmati Makan Malam di Pantai Jimbaran (Dokpri)
Menikmati Makan Malam di Pantai Jimbaran (Dokpri)
Itu baru soal kemampuan menerima wisatawan. Belum lagi soal pelayanan seperti di hotel maupun penginapan. Pegawai hotel sangat ramah menerima kedatangan tamu, baik domestik maupun mancanegara. Untungnya lagi, pegawai di Bali rata-rata sudah mampu berbahasa asing terutama Inggris sehingga komunikasi dengan turis menjadi semakin lancar.

Jika dibandingkan, masyarakat di sekitar Danau Toba masih harus belajar banyak dengan standar pelayanan tamu seperti di Bali. Yakni mampu melayani tamu dengan ramah tanpa harus membeda-bedakan apakah turis lokal atau turis mancanegara.

Tapi, ada tapinya nih. Saya tidak tahu ini hanya pengalaman pribadi atau bukan. Saat berbelanja di sebuah pusat oleh-oleh, rasanya ada sedikit perlakuan pegawai toko saat melayani turis domestik. Pegawai toko 'K' kurang bersahabat saat melayani. Baik pegawai SPG maupun pegawai di kasir. Sama saja.

Kesimpulan ini saya buat setelah mengobrol dengan seorang teman yang juga ikut berbelanja. Ternyata, penilaian kami sama persis. "Gw nggak jadi beli celana tadi, habis Mbaknya galak banget," begitu ucapan teman saya. "Kok sama sih," jawab saya.

Nah, soal yang satu ini, Bali dan Danau Toba sepertinya masih punya nilai sama. Pelayanan di pusat perbelanjaan oleh-oleh masih perlu ditingkatkan lagi. Jangan sampai turis akhirnya kapok kembali hanya karena tak dilayani dengan ramah. "Gw belanja hampir satu juta, tapi kok malah dipersulit yak," begitu teman saya menggerutu.

Demikian sedikit pengalaman waktu berkunjung ke Bali. Semoga bermanfaat.

Berikut video saat pesawat yang saya tumpangi mendarat di Bandara Internasional I Ngurah Rai, Bali:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun