Jembatan Barelang, sore di hari Minggu (10/11/2019). Itulah pertama kalinya saya menginjakkan kaki di ikon khas Batam. Dipandu seorang teman yang kebetulan sejak 6 tahun belakangan menetap di sana. Pindah dari Jakarta, memulai kehidupan dan bisnis baru di sana. Sudah sukses beliau sekarang. Puji Tuhan.
Sore itu, saya menikmati pemandangan dari atas Jembatan Barelang. Laut yang menghampar luas, pulau-pulau kecil, dan angin yang berhembus cukup kencang. Di kiri-kanan jembatan, dipenuhi warga yang juga bertujuan serupa. Bahkan sekelompok anak muda, sore itu juga asyik bermain gitar dan bernyanyi bersama. "Bah, lagu Batak pula," pikirku. Jadi merasa seperti pulang kampung ke Tanah Batak.
Kendati setiap orang kini punya kamera ponsel masing-masing, kehadiran fotografer profesional ternyata masih ada. Mereka menjajakan jasanya kepada pengunjung yang ingin diabadikan, berlatar jembatan Barelang. Hasil jepretan fotografer ditebus dengan lembaran rupiah. Jepret langsung jadi duit.
Selain fotografer, kehadiran pedagang di pinggir jalan juga tak kalah banyak. Menawarkan aneka makanan dan minuman. Seperti sate Padang dan minuman dingin. Semuanya lengkap. "Apa tadi tidak ada razia dari Satpol PP?" kawan saya bertanya kepada pedagang sate. "Ada, cuma sebentar saja," jawab tukang sate.
Parkir kendaraan? Tenang saja, lahan parkir tersedia cukup banyak di dekat jembatan. Tarifnya Rp 10 ribu untuk satu mobil, mau sebentar atau seharian. Pukul rata.
Oh ya, Barelang ternyata sebuah akronim: Batam, Rempang, dan Galang. "Itu singkatan sebetulnya," ujar teman saya yang mengajak berkeliling Batam. Ketiganya adalah nama tiga pulau yang saling berdekatan. Nah, jembatan itulah yang dijadikan sebagai penghubung ketiga pulau tersebut. Dari Batam menyeberang ke Rempang, kemudian menyeberang lagi ke Galang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H