Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Potret Kejayaan Petani Jeruk di Tanah Karo

2 November 2019   14:46 Diperbarui: 4 November 2019   11:47 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jeruk Medan, itu nama yang umum diketahui. Berukuran sekepal tangan orang dewasa dan yang pasti rasanya sangat manis. Kulitnya mengkilap walau tak dilapisi lilin. Harganya? Tetap terjangkau. Ratusan ton jeruk itu diekspor ke berbagai kota khususnya Jakarta dan sekitarnya.

Jeruk tersebut diangkut menggunakan truk-truk besar hingga tiba di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Dari Medan ke Jakarta butuh waktu setidaknya 2 hari 2 malam. 

Menembus jalanan Sumatera lalu menyeberang di Selat Sunda. Dari Pasar Induk, jeruk-jeruk itu (juga buah dan sayuran lain) selanjutnya didistribusikan ke pedagang eceran hingga sampai ke tangan pembeli.

Tetapi tahukah Anda, sesungguhnya tak ada petani jeruk di Medan, ibu kota Provinsi Sumut. Pohon jeruk saja sulit ditemukan, paling hanya satu-dua di antara pekarangan rumah penduduk. 

Itu pun, kalau berbuah, rasanya kurang manis. Jarang dicicipi kecuali untuk pelengkap bumbu masak. Misalnya, bumbu masak untuk ikan mas. Lalu, kok disebut Jeruk Medan? Begini ceritanya.

Aslinya, jeruk itu berasal dari Tanah Karo, wilayah kabupaten yang tak jauh dari Medan. Dari sekitar wilayah Gunung Sinabung, yang belakangan rajin 'batuk-batuk'. Di sanalah kita bisa menyaksikan lahan tanaman jeruk yang teramat luas. 

Mayoritas penduduknya memang bertani jeruk, selain tanahnya subur juga didukung iklim yang dingin pula. Sangat cocok untuk bertanam jeruk. Suburnya tanah di wilayah itu salah satunya berasal dari erupsi Sinabung, yang terjadi ratusan tahun silam.

Menyortir Jeruk Besar untuk Dijual (Koleksi Pribadi)
Menyortir Jeruk Besar untuk Dijual (Koleksi Pribadi)
Ujung Bawang, merupakan salah satu daerah di Tanah Karo yang dikenal sebagai penghasil jeruk. Kebetulan, mertua saya berasal dari kampung ini. Akhir 2018 lalu, saya diajak berkunjung ke sana. Melihat sisa-sisa kejayaan tanaman jeruk miliknya. 

Dari Medan, dibutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk tiba di Ujung Bawang, bersuhu dingin dengan hamparan tanaman jeruk dan kopi. Di sana saya menyaksikan jeruk dan kopi ternyata bisa juga ditanam berdekatan.

Ini sangat berbeda dengan petani kopi di wilayah Tapanuli, khususnya di kampung saya. Di Tapanuli, saya belum pernah melihat tanaman kopi yang juga "disisipi" tanaman lainnya seperti jeruk. Alhasil, petani kopi hanya bisa mengharapkan panen kopi. Semoga saja petani di Tapanuli tak segan meniru gaya bertani ala orang Karo.

Sekarang mari kembali ke jeruk. Menurut cerita mertua, masa kejayaan tanaman jeruknya berlangsung dari tahun 1990 hingga 2000-an. Saat itu, hasil sekali panen jeruk bukan lagi ratusan kilogram. Tetapi berton-ton. 

Karena sudah berton-ton, tak mungkin kan dimakan sendiri. Atau bahkan dijual eceran ke pasar-pasar tradisional. Itu sudah pasti butuh waktu lama sementara jeruk merupakan komiditi yang harus cepat-cepat dijual. "Barang Busuk" kalau istilah orang Medan. Bukan barang mati seperti parang atau mobil.

Dulu, sambung mertua, harga jeruk perkilogram dihargai antara Rp 1.000 hingga Rp 3.000. Harga ini ditentukan pembeli yang langsung datang ke lokasi panen. Pembeli dalam jumlah besar atau yang biasa disebut tengkulak memang rajin mendatangi kebun-kebun jeruk milik warga. Membeli langsung dan mengangkutnya dengan truk kecil maupun truk besar. Dengan kata lain, transaksi jual-beli terjadi di lokasi panen jeruk.

(Koleksi Pribadi)
(Koleksi Pribadi)
Namun tak semua jeruk diangkut tengkulak. Hanya jeruk-jeruk "super" saja. Yakni jeruk yang berukuran besar dan berkulit mengkilap. Adapun jeruk yang tak layak ekspor akan diangkut sendiri oleh pemilik jeruk. Dijual eceran ke pedagang-pedagang pasar di sekitar Medan. Sebagian lagi dibagi-bagi ke tetangga dan kerabat.

Hasil penjualan jeruk walau dihargai lebih murah oleh tengkulak, sangat membantu para petani di Tanah Karo. Dengan hasil menjual jeruk, perekonomian merangkak naik, bahkan mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke Jakarta. Sementara di Tapanuli, biaya sekolah anak-anak umumnya bersumber dari hasil penjualan kopi.

Sayangnya, potret kejayaan petani jeruk di Tanah Karo perlahan memudar. Tak lagi seperti dulu. Kondisi ini terjadi akibat peristiwa di luar kendali manusia, seiring erupsi Gunung Sinabung beberapa tahun belakangan. Erupsi Sinabung secara langsung mengakibatkan hilangnya sebagian lahan jeruk hingga rusaknya tanaman jeruk akibat awan debu.

Meski harus menantang alam, petani jeruk di Tanah Karo tetap setia dengan mata pencaharian utamanya. Mereka tetap bertani jeruk, ditambah tanaman sayuran lain seperti kol dan bawang. Mereka tak menyerah tetapi berusaha bergandengan tangan dengan alam yang kadang kurang bersahabat. Jeruk tetap menjadi andalan utama, kendati tak sejaya yang dulu.

Mejuah-juah Tanah Karo Simalem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun