Kemudian, ada yang hidupnya serba kekurangan tetapi masih nekat pula merokok. Sekali lagi, ini menurut pengamatan saya. Bukan berdasarkan survei resmi dan bukan bermaksud membela perusahaan rokok.
Terlepas dari pilihan apakah turun kelas atau berhenti merokok, yang jelas kenaikan cukai rokok pasti berdampak terhadap petani tembakau dan pabrik rokok.Â
Dengan naiknya harga rokok, maka pendapatan pabrik rokok akan berkurang akibat banyaknya konsumen yang turun kelas atau berhenti merokok.
Selanjutnya, sebanyak 7.400 tenaga kerja di pabrik rokok terancam kena PHK.
Selain ancaman gelombang PHK pekerja pabrik rokok, nasib buruk juga sudah pasti menimpa petani tembakau. Wajar, ketika harga rokok naik maka permintaan dari pabrik rokok akan dikurangi.
Di saat bersamaan, rokok ilegal yakni rokok tanpa cukai, pun ikut marak. Perokok akan melirik harga rokok yang lebih murah. Tanpa terlalu peduli apakah rokok itu telah dibebani cukai atau tidak. Yang penting, tetap ngebul!
Serba salah memang. Bila pemerintah tidak menaikkan cukai rokok maka pendapatan negara akan berkurang. Sementara pada 2020, pemerintah mematok penerimaan negara dari cukai sebesar Rp 180,5 triliun.
Angka ratusan triliun itu bukan dari cukai rokok saja, tetapi dari keseluruhan cukai. Tetapi yang jelas, cukai rokok punya peran penting dalam meraup pendapatan negara.
Di sisi lain, jika cukai dinaikkan, petani tembakau dan pabrik rokok langsung menjerit. Ancaman PHK terjadi yang ujung-ujungnya merepotkan pemerintah sendiri. Pemerintah akan dituding tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan, tidak kreatif, dan sebagainya. Serba salah.
Sehingga daripada pusing harus memilih siapa, saya memutuskan untuk tetap merokok dengan jenis rokok yang lebih rendah. Maksudnya rokok yang lebih murah harganya. Paling tidak, saya ikut membantu para petani tembakau dan pabrik rokok.
Di saat bersamaan, juga berperan menyetor sedikit duit ke negara melalui cukai. Bayangkan kalau saya berhenti merokok, petani dan pemerintah akan kena dampaknya.