Saat di Sekolah Minggu, dulu, lagu ini pasti kami nyanyikan bersama-sama: "Hati-hati gunakan tanganmu (2x), karena Bapa di Sorga selalu lihat ke bawah, hati-hati gunakan tanganmu".Â
Saat memasuki lirik "tanganmu", semua serentak tepuk tangan dua kali. Sebagai pengingat kalau kita harus selalu hati-hati dengan kedua tangan, sebab ada Bapa di sorga yang setia mengawasi dari atas. Lagu itu tak hanya soal tangan, juga kaki dan mulut. Semuanya harus dijaga, tak boleh asal digunakan. Harus hati-hati.
Di era media sosial sekarang, lagu ini menjadi sangat relevan. Bahwa kita memang harus selalu hati-hati. Tidak boleh asal sembarangan. Mengetik status di media sosial tidak boleh dilandasi rasa kebencian membabi-buta terhadap seseorang terutama kepada pemerintah.Â
Ada aturan. Kecuali kalau statusnya bernada 'happy-happy' semisal nongkrong di warung kopi atau liburan ke pantai.
Tapi kalau sudah menyangkut ke pribadi seseorang, lembaga, khususnya pemerintah sebaiknya ditahan dulu. Itu pun bukan berarti dilarang kritis kepada kinerja pemerintah.Â
Boleh saja. Selama kritik disampaikan dengan elegan dan tanpa menyerang pribadi, semuanya sah-sah saja. Tidak ada yang larang. Justru di situlah salah satu nikmatnya era demokrasi. Bebas berpendapat walau ada aturan yang harus dipatuhi bersama.
Namun perlu diingat, kebebasan 'nyinyir' ke pemerintah itu hanya milik rakyat jelata. Yakni mereka yang sama sekali tidak terikat secara langsung terhadap pemerintahan.Â
Kelompok inilah yang boleh dengan bebas mengkritik pemerintah. Sekeras apapun. Sekali lagi, mengkritik bukan memfitnah. Jika fitnah, masuk bui juga. Di sisi lain, pemerintah yang mendapat kritikan dari kelompok ini pun tidak boleh alergi, tetapi wajib mendengarkan kritikan mereka.
Sementara bagi TNI/Polri, PNS, dan Pegawai BUMN wajib hukumnya mendukung pemerintah yang sah. Apapun ceritanya. Sehingga kalau ada di antara kelompok ini yang tidak suka kepada pemerintah (Jokowi), wajib ditertibkan.Â
Sebab menjadi aneh kalau kelompok yang seharusnya netral malah ikut-ikutan ke kelompok pengkritik. Itu tidak boleh. Menyalahi aturan.
Sebetulnya saya heran juga, kenapa sih ada oknum abdi negara yang malah terang-terangan 'membenci' pemerintah di ruang terbuka? Apakah mereka tidak sadar kalau sedang berada satu gerbong dengan pemerintahan yang sah?Â
Bagaimanapun, Presiden Jokowi merupakan pimpinan tertinggi dari seluruh abdi negara. Sehingga membenci Jokowi sama saja dengan melawan pemerintah yang sah.
Celakanya lagi, itu tadi, rasa tidak suka oknum abdi negara itu dituangkan di muka publik lewat status-status di media sosial. Apa mereka tidak malu? Atau memang tidak tahu ada aturan yang mengikat jempol mereka? Saya yakin mereka paham aturan itu, tetapi rasa kebencian telah mengalahkan segalanya, terutama akal sehat.
Semoga apa yang kita saksikan bersama-sama hari ini menjadi pembelajaran penting bagi seluruh abdi negara. Terutama bagi istri atau suami yang berseragam abdi negara.Â
Cobalah lebih bijak bermedia sosial, tanpa perlu mengungkapkan seluruh isi kepala ke layar ponsel Anda. Tetaplah menjadi menjadi abdi negara yang setia kepada pemerintahan yang sah.
Sementara bagi kelompok rakyat jelata, tetaplah kritis tanpa memfitnah. Silakan kritik pemerintah sekeras-kerasnya tetapi jangan pernah memfitnah. Saya sendiri kerap mengkritik Jokowi jika menurut saya kebijakannya kurang tepat atau malah melenceng jauh dari janji kampanyenya.
Namun perlu diingat bersama, mari hati-hati menggunakan jempol kita. Di dunia, bukan karena Bapa yang melihat dari sorga, tetapi karena penjara yang siap menanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H