Denny Siregar berkicau di Twitter, menyelipkan satu tautan berjudul Buzzer, The Death of Reporter. Penulis artikel itu adalah seorang mantan wartawan Harian Kompas. Namanya Pepih Nugraha, akrab disapa Kang Pepih. Wow, bukankah beliau pendiri Kompasiana? Betul, dia orangnya.
Ulasan Kang Pepih sangat enak dibaca dan perlu. Bahasanya ringan tapi memuat banyak pengetahuan baru. Bukan sekadar enak dibaca, juga perlu memang. Kang Pepih, dalam kesimpulan tulisannya, menyarankan agar Tempo berbenah diri. Mengubah gaya dan pola pemberitaannya agar tak kalah saing dari buzzer di medsos.
Tempo, media yang dikenal dengan gaya investigatifnya memang sedang semangat menyerang para buzzer alias pendengung. Tempo menyoroti kualitas para pendengung yang tak bagus-bagus amat.
Ironisnya, banyak yang warganet yang termakan isu yang dihembuskan buzzer. Di sinilah letak bahaya itu, menelan informasi yang disebarkan buzzer (tak) berbobot.
Usai membaca ulasan Kang Pepih serta narasi kualitas dan dampak buruk buzzer versi Tempo, saya kemudian menyimpulkan bahwa inilah eranya para buzzer.
Kita semua, yang aktif di media sosial, sejatinya adalah buzzer. Berlomba-lomba melahap segala informasi yang tersaji di media massa maupun media online.
Hanya saja bedanya, buzzer "berbayar" yang disewa pihak tertentu itu mendapat honor baik berupa uang tunai atau kompensasi lainnya. Tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Sementara buzzer tanpa bayaran bekerja tanpa beban. Bertugas melahap dan menyebarluaskan informasi dari buzzer berbayar. Mereka inilah para netizen budiman yang tak punya kepentingan apapun kecuali rasa simpati berlebihan atau kebencian berlebihan kepada seseorang atau lembaga.
Jadi ketika saya menggiring opini, misalnya, Denny Siregar adalah buzzer Jokowi, maka saya sebetulnya juga telah bertindak sebagai buzzer kubu oposisi. Pun demikian sebaliknya.
Sehingga sangat sulit mengelompokkan mana buzzer yang netral dan tak netral. Keduanya telah saling bersinggungan satu sama lain. Meminjam pepatah, ini mungkin sudah eranya buzzer teriak buzzer.
Lalu apakah kejayaan buzzer saat ini menjadi tanda matinya kerja jurnalistik? Tidak juga. Selama media massa bersedia mempertahankan jati dirinya, mencari, mengumpulkan, dan mengolah informasi menjadi sebuah berita.
Jangan seperti sekarang yang latah "memindahkan" informasi yang bersumber dari media sosial menjadi sebuah berita. Tanpa mengolahnya sama sekali.
Selama itu masih berlangsung, media massa sama saja dengan buzzer. Tak salah kalau kita sebut: buzzer teriak buzzer.
Yuk, seruput susunya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H