Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kisah Maruli Gultom, dari Montir hingga Presdir

9 Agustus 2019   15:08 Diperbarui: 9 Agustus 2019   15:14 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Facebook/Dhaniswara K Harjono

Lalu-lintas sedikit tersendat, tak jauh dari perempatan lampu merah Pejaten Village, Jakarta Selatan. Gerimis sore itu terasa lebih istimewa ditemani segelas kopi dan kudapan ringan. Maruli Gultom tengah bersantai di sebuah rumah luas nan asri.

Rumah itu hanya sesekali disinggahinya, seringkali bila sedang ada janji bertemu kerabat atau sahabat lama. Ada sepaket alat musik seperti drum, gitar, hingga keyboard yang ditata apik, persis di sebelah kanan setelah pintu masuk.

Maruli Gultom kini telah menikmati masa pensiun. Memulai karir sebagai montir, Maruli menggenapi masa pengabdiannya dengan jabatan terakhir sebagai Direktur PT Astra International, Tbk, pada 2008 lalu.

Maruli bukan sekadar montir, boleh dibilang, sepeda motor Honda generasi pertama dirakit oleh tangannya. Maruli pulalah yang merintis AHASS, bengkel resmi Honda, yang kini telah menjamur di seluruh Indonesia. Ia memulainya dari nol setelah tak lagi menjadi montir.

Berdiskusi dengan Maruli selalu mengasyikkan, sebab ia menempatkan rekan diskusinya dalam posisi sejajar. Puluhan penugasan di Astra, tak membuatnya merasa enggan meski harus duduk semeja dengan kolega di bawahnya.

Kejujuran dan kerja keras telah mengantarkan Maruli ke jajaran puncak jabatan di Astra. Bayangkan, dari seorang montir hingga menjadi direktur di Grup Astra. Masa bakti Maruli di Astra tercatat selama 49 tahun. "Jujur yang membuat Astra bisa berjaya sampai sekarang," ungkap Maruli dalam perbincangan beberapa waktu lalu.

Menurut Maruli, sebetulnya sudah banyak rintangan yang harus dihadapi Astra dalam 60 tahun perjalanannya. Tetapi, ia kembali menegaskan, krisis itu selalu bisa dilewati dan bahkan menjadikan Astra sebagai role model perusahaan kelas dunia.

"Sumber daya manusia itu yang paling penting adalah etos kerjanya, bukan kepintaran yang utama. Sebab rata-rata pekerja di Astra telah mempunyai kompetensi, tetapi itu akan sia-sia apabila tidak ada keteladanan dari pemimpin," Maruli menguraikan pengalamannya.

Menjadi Rektor UKI

Maruli kembali ke almamaternya, Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta selepas pensiun dari Astra. Inovasi ala perusahaan pun diterapkan Maruli di kampus kebanggaannya. Terbukti moncer, UKI yang sebelumnya sempat dicap kampus 'tawuran' perlahan berubah. Semuanya menjadi lebih tertib.

Tonggak partisipasinya mengembangkan UKI tak sekadar pembenahan internal semisal penempatan pejabat di lingkungan rektorat maupun dekanat. Ia tak lupa membangun sebuah mercusuar tanda pengabdian sekaligus ungkapan terima kasih kepada tokoh Astra: William Soeryadjaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun