Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

"Pak Polisi, Sampai Kapan Suamiku Ditahan?"

7 Agustus 2019   01:50 Diperbarui: 7 Agustus 2019   02:31 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tahanan (Tribunnews)

Sungguh tak mudah menjelaskan ini ke publik. Terlalu sensitif hingga cenderung berbalas penolakan. Tetapi apapun itu harus dilalui, biarlah waktu yang menjawab. Kupetik sebuah judul: "Pak Polisi, Sampai Kapan Suamiku Ditahan?"

Siapapun pasti setuju kalau kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur harus dihukum setimpal. Tidak ada kata damai. Terlebih bila pelakunya seorang oknum guru yang semestinya berperilaku teladan. Publik akan dengan mudah menghakimi dengan segala cemoohan dan cibiran. Wajar, sebagai bentuk tergugahnya rasa kemanusiaan.

Tetapi bagaimana kelanjutannya? Kalau memang punya bukti dan saksi, kenapa Kepolisian tak kunjung melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan?

Itulah kegalauan seorang istri yang menelepon saya, Selasa (6/8/2019) menjelang malam. Dia mengaku tak tahu lagi harus berbuat apa. "Sudah sebulan lebih ditahan di Polres Tobasa," ujar wanita itu di ujung telepon. Suaranya terdengar lemah, seperti patah semangat.

Suaminya, adalah seorang guru Kelas 5 di sebuah SD Negeri di Desa Panamparan, Kecamatan Habinsaran, Tobasa, Sumut. Sang suami dituduh melakukan pencabulan terhadap siswi yang masih duduk di Kelas 1. Kasus ini kemudian menyita perhatian publik dan media massa setempat.

Singkat cerita, oknum guru itu akhirnya ditahan di Polres Tobasa. Namun belakangan, tuduhan pencabulan berubah menjadi tuduhan pelecehan.

Saya kemudian menganjurkan agar tak perlu berlarut-larut mencari pembelaan karena pasti sulit diterima akal publik.

Opini sudah terlanjur terbentuk. Maka jalan satu-satunya adalah mengungkap apa yang terjadi sebenarnya. Saya tanya, "Kalian sudah siap maju ke persidangan? Sudah siap terima hukuman?"

"Sangat siap, justru itu yang kami tunggu. Kami ingin tahu bukti dan saksi apa saja yang digunakan polisi untuk menahan suamiku. Mana buktinya dan siapa saksinya. Saya yakin polisi tak bisa membuktikan," jawab perempuan yang tengah menanti kelahiran anak pertamanya itu penuh keyakinan.

Kuperjelas kembali, kok bisa seyakin itu?

"Sangat yakin. Pertama, polisi tidak pernah memberitahu apa bukti yang dikantongi, selalu berkelit 'nanti dibuka di pengadilan'. Kedua, kondisi anak yang katanya korban, terlihat tetap ceria seperti anak pada umumnya. Tidak ada tanda-tanda tertekan sama sekali. Ketiga, dua saksi yang merupakan teman terduga korban, saat ditanyai di Polres malah mengaku tidak melihat apa yang dituduhkan."

Kutanya lebih lanjut, apakah sudah ada upaya mediasi kepada keluarga terduga korban? "Sudah dua kali tetapi selalu gagal, tetap meminta agar dilanjutkan ke pengadilan."

Terus, sudah pernah ajukan agar tersangka pelaku menjalani tahanan luar? "Ditolak polisi, alasannya akibat tekanan publik. Bahkan saya pernah meminta agar dibebaskan sebentar saja agar bisa hadir saat acara tujuh bulananku, tetap ditolak polisi. Selalu tekanan publik alasannya."

Sebelum menutup telepon, saya pastikan sekali lagi, apakah yakin sudah siap kasusnya dibawa ke pengadilan? "Sangat siap, kami sudah cukup pusing dengan penghakiman sepihak selama ini.

Makanya, kalau polisi memang sudah punya bukti dan saksi, kapan dilimpahkan ke Kejaksaan? Lalu sampai kapan suamiku ditahan?"

Begitulah akhir percakapan kami. Semoga kasus ini secepatnya ditangani Polres Tobasa. Terlepas terbukti atau tidak, biarlah Pengadilan yang memutuskan.

Namun tanpa bermaksud membela dan menggurui aparat hukum, barangkali ada baiknya Kepolisian membuka berkas kasus hampir serupa yang menimpa Jakarta International School (JIS) 2015 lalu.

Saat itu, dua guru dan empat petugas kebersihan sekolah dituduh melakukan pencabulan terhadap seorang siswa.

Guru dan petugas kebersihan itu kemudian dihakimi opini publik dan dengan cepat diproses hukum. Satu orang terduga pelaku bahkan meninggal dunia saat di sel tahanan.

Ironisnya, kasus itu kemudian berubah total. Ternyata ada dalang di balik peristiwa itu. Semua hanya rekayasa belaka dari orangtua korban. Motifnya uang.

Pada akhirnya, seluruh terduga pelaku dibebaskan karena tidak terbukti. Presiden Jokowi kemudian memberikan grasi kepada salah seorang guru yang sudah terlanjur divonis Mahkamah Agung. Guru yang berkewarganegaraan Kanada itu pun kini sudah kembali ke negaranya.

Dalam kasus ini, saya bukannya ingin menuduh ada rekayasa. Tetapi berharap agar Polres Tobasa segera menuntaskannya. Jangan ditunda-tunda. Toh, pelaku dan keluarganya sudah menyatakan siap maju ke persidangan.

Note: Ditulis berdasarkan pengakuan istri terduga pelaku. Mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang berkenaan menuntaskan kasus ini.

Selasa, 6 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun