Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Gaji Pertama Cuma Sejuta, Dicopet Pula

26 Juli 2019   10:39 Diperbarui: 26 Juli 2019   15:36 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang merambat sore, saat saya bersama seorang "bos" berdiri di trotoar Jl DI Panjaitan, Jakarta Timur, 12 tahun silam. Menunggu kedatangan bus jurusan Priok-Cawang, bus tua yang kini tak lagi beroperasi.

Hatiku riang, lantaran si bos baru saja menyerahkan uang segepok. Ya, satu juta rupiah. Itu gajiku selama sebulan bekerja. Walau hanya sejuta, uang itu sudah terbilang banyak untuk ukuran saya kala itu. Seorang pengangguran yang merindukan pekerjaan. Itulah gaji pertama yang saya terima. Si bos berpesan, agar tetap setia bekerja kepadanya. Saya mengiyakan.

Bus yang ditunggu pun tiba. Penuh sesak penumpang, saya pamit ke Pak Bos lalu meloncat lincah ke dalam bus. Menyelinap di antara kaum urban lain. Ongkos Rp 3 ribu kusiapkan di kantong depan celana. Di kantong yang sama, saya meraba uang segepok tadi, oh masih ada.

Bus terus melaju hingga tiba di Kampus UKI, Cawang. Pemberhentian terakhir meski di situ tak ada terminal resmi. Cuma "bayangan". Saya kemudian berpindah bus, kini jurusan Cikarang-Rambutan. Tak terlalu penuh hingga bisa duduk dengan nyaman. Sedap.

Malang tak bisa ditolak, itulah yang terjadi berikutnya, sesampai tiba di Kampung Rambutan, tujuan akhir saya. Saat menyusuri jalan menuju rumah kontrakan, tanganku meraba kantong celana. Omaigat....uangnya sudah tiada. Hilang. Saya mendadak lemas.

Kucek kembali, tetap kosong melompong. Kuperiksa, kantong celana dalam posisi aman, tak ada bolong. Fix, saya kena copet. Keringat dingin. Kucoba mengingat kembali, tahap demi tahap perjalanan kurang lebih dua jam itu.

Dugaan kuat mengarah ke bus Priok-Cawang, dicopet saat berdesakan dengan penumpang lain. Yang saya heran, kok bisa ya tangan pencopet sampai tak terasa masuk ke dalam kantong celana.

Sesampai di kontrakan, saya hanya bisa pasrah. Sembari bercerita ke teman-teman satu kontrakan yang dengan iba mendengar kisah itu. Mereka menyemangati, hanya itu.

Tetapi hari wajib terus berlanjut. Saya tetap bekerja walau harus kembali dililit utang. Pengalaman itu tak mungkin saya lupakan, juga menjadi pelajaran agar lebih hati-hati menyimpan uang tunai. Barangkali, kalau saat itu sudah ada GoPay, tentu nasib sial itu tidak akan pernah ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun