Mobil yang kami tumpangi terjebak truk kontainer, diapit kanan, depan, belakang. Di kiri jalan ada saluran air alias got yang airnya berwarna hitam. Tak bisa bergerak. Pasrah. Sementara jarum jam sudah ke pukul 21.00 WIB.Â
Kebetulan, hanya sekitar dua meter di depan kami ada seorang pedagang kopi keliling yang mengendarai sepeda motor. "Tumben, biasanya naik sepeda nih Starling (Starbuck Keliling)," batinku walau diapit truk berbadan raksasa.
"Ini bisa berjam-jam Pak, truknya emang lagi antri muatan. Harusnya tadi ambil lajur kanan," tiba-tiba saja pedagang kopi keliling itu menghampiri kami, tanpa menawarkan kopi dagangannya. Bapak itu rupanya masih punya rasa perhatian, berempati kepada kami yang terjebak kesulitan. Â
Malam itu di Pelabuhan Tanjung Priok, Sabtu (25/5/2019), lalu lintas truk kontainer memang sedang sibuk. Antriannya mengular hingga memakan separuh badan jalan. Beruntung, mungkin karena supir truk merasa kasihan kepada kami, ia dengan sukarela turun dari kemudi, menawarkan bantuan.
"Saya bilang ke depan dulu ya biar maju sedikit," sergah dia dan kami langsung paham maksudnya. Ia kemudian meminta supir kontainer di barisan depan untuk maju sedikit. Mantap, kami akhirnya lolos dari sela-sela truk, menyisir lajur kanan menuju pintu masuk pelabuhan.
Di pelabuhan, tempat KM Kelud bersandar, ramainya bukan main. Ada yang masih bersantai di sekitar pintu masuk keberangkatan, namun ternyata sudah banyak pula yang telah masuk ke kapal.Â
Terutama penumpang yang non seat alias tak punya nomor kamar. Mereka sejak awal sudah masuk ke kapal, mencari spot yang tepat untuk dijadikan tempat tidur.Â
Tempat paling favorit adalah di dekat tangga penghubung lantai, selain di lokasi lain yang memungkinkan untuk sekadar tidur. Hebatnya, banyak juga yang nekat menggelar kasur di dek luar kapal.Â
Menantang dinginnya malam. Bila kasur milik KM Kelud yang bertuliskan "gratis" habis, jurus terakhir adalah menggelar tikar, persis seperti gelar tikar di Ancol itu loh.
Baiklah, daripada ceritanya terlalu panjang, berikut sejumlah peristiwa yang saya alami saat mudik 2019 bersama keluarga menaiki KM Kelud rute Jakarta-Batam-Tanjung Balai-Medan. Itu berarti ada empat pelabuhan yakni Tanjung Priok, Batu Ampar, Karimun, dan Belawan.
1. Aroma Khas WC
Kesan pertama menggunakan WC di KM Kelud adalah aroma yang khas, menyengat, hingga menimbulkan mual. Lantainya sedikit tergenang dan klosetnya hampir tak bisa digunakan. Tapi yang paling menyiksa adalah aromanya itu.
Selain aroma, klosetnya hanya dilengkapi selang air mini plus jerigen kecil yang bagian atasnya sengaja dipotong. Kalau di kapal perang, mungkin cocok model begitu, tapi sebaiknya jangan untuk kapal penumpang sipil. Tersiksa, bro!
Namun biar tak salah paham, kondisi tak mengenakkan itu hanya terjadi di Dek 5, kelas ekonomi yang letaknya berada di bagian belakang kapal. Saking baunya, penumpang di dekat WC Pria itu sepakat "memblokir" dengan memasang sapu dan tong sampah di dekat pintu WC. Ditutup sementara mirip akses medsos.
Alhasil, penumpang pria di dek 5 terpaksa harus mencari WC lain, terserah mau di dek berapa. Urusan masing-masing.
2. Starling Harga Miring
Starling alias Starbuck Keliling cukup membantu para penumpang yang ingin minum kopi dan mengisap nikotin. Walau tak punya saingan, harga jual starling di Kelud cukup bersahabat. Nggak asal getok!
Segelas kopi hanya dibanderol Rp 10 ribu saja, sementara rokok mengalami peningkatan harga mencapai 50 persen. Simpelnya, kenaikan harga di Starling Kelud berada di angka 50-100 persen. Masih wajar, menurut saya untuk ukuran di tengah laut.
Bahkan kalau mau berhemat, penumpang sebaiknya membawa bekal kopi mentah dari darat. Di kapal tinggal seduh, stok air panas dan air minum melimpah di sana. Tak perlu khawatir.
3. Dapat Sinyal Setelah 10 Jam
Berangkat dari Priok tepat pada pukul 01.00 WIB, Minggu (26/5/2019) dinihari, sinyal telepon dan internet masih lancar jaya hingga satu jam berlayar. Perlahan, sinyal internet menghilang diikuti sinyal telepon beberapa waktu kemudian. Hilang sudah peradaban netizen, tanpa akses internet sama sekali.
Tetapi tenang, puasa itu hanya berlangsung 10 jam saja. Saat kapal melintas di pinggiran Kepulauan Bangka, sinyal ponsel menyala kembali. Tenang, sinyal hidup berlangsung kurang lebih 5 jam lamanya. Tapi sayang, sinyal internet masih menghilang.Â
Namun setidaknya, penumpang sudah bisa berkomunikasi dengan kerabat melalui sambungan suara, atau sekadar bernostalgia dengan layanan SMS. Kan lumayan!
Jangan khawatir juga kehabisan pulsa telepon. Itu karena abang-abang Starling tadi juga menjual pulsa, kok. Cuma ya itu, harganya juga disesuaikan dengan harga laut. Kan nggak mungkin kita cari pulsa di konter sebelah.
4. Kafe Mini Pelni Mart
Kenyamanan penumpang juga terjaga dengan kehadiran kafe mini bernama Pelni Mart. Aneka jajanan anak, kopi hingga rokok, maupun perlengkapan mandi tersedia di sana. Harganya sama persis dengan Abang Starling.Â
Bedanya, Pelni Mart dilengkapi tempat nongkrong nyaman serta suguhan lagu lewat speaker cukup kencang. Kuat dugaan, Abang Starling itu tak lain agen Pelni Mart yang berperan menjemput bola di tengah lautan.
5. Suguhan Makanan Lezat
Ini kredit positif yang layak diberikan untuk KM Kelud. Penumpang berkelas ekonomi saja, jadwal dan menu makanannya patut diacungi jempol. Selain tepat waktu, sajian makanannya cukup beragam. Dari ikan laut, ayam, hingga minuman ringan dalam kemasan. Pokoknya betul-betul diservis.Â
Makanan lezat itu bisa diambil secara langsung di bagian pantri, walau harus rela mengantri kurang lebih 5-10 menit. Tak terlalu lama menurut saya. Bahkan, jika tidak ingin mengantri, tersedia opsi lain.Â
Saya tidak tahu apakah ini kebijakan resmi dari kapal: layanan antar makanan dengan biaya Rp 20 ribu per penumpang hingga sampai di tujuan. Tapi kalaupun tidak, rasanya harga itu sangat wajar.
Saya jadi penasaran juga mencicipi layanan di kelas bisnis, pasti lebih wah lagi. Kalau KM Kelud bersedia beri diskon, jangan segan-segan menghubungi saya.
6. Informasi Kru Sangat Jelas
Selain makanan lezat, distribusi informasi di KM Kelud juga layak mendapat bintang lima. Sekecil apapun informasi, selalu disalurkan lewat pengeras suara yang terdapat di seluruh bagian kapal.Â
Tak peduli Anda sedang mandi, tidur, atau nongkrong di pinggiran kapal, informasi dari kru kapal selalu terdengar jelas dan tegas.
Salah satu pengetahuan yang saya ingat dari kru itu adalah soal maksud di balik bunyi peluit dari nahkoda. Yakni, soal 7 bunyi pendek peluit dan 1 bunyi panjang peluit yang berlangsung terus-menerus.Â
Bunyi itu merupakan tanda bahaya dan perintah agar seluruh penumpang meninggalkan kapal. Para kru kapal akan menuntun penumpang untuk menyelamatkan diri, antara lain mengenakan pelampung hingga masuk ke sekoci.***
Begitulah sedikit pengalaman berlayar bersama KM Kelud. Secara umum, kualitas pelayanan di KM Kelud sudah  cukup bagus. Semoga ke depan semakin ditingkatkan lagi terutama soal kebersihan kamar mandinya.
Catatan ini ditulis sekadar mengisi waktu luang selama kurang lebih 32 jam perjalanan Jakarta-Batam. Saat sinyal internet sudah muncul di Batam, saat itulah tulisan ini diunggah ke jagad maya.
KM Kelud akhir Mei 2019, Dek Ekonomi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H