Suratan tangan siapa yang tahu. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sudah hadir di Istana dan berkemeja putih khas Presiden Jokowi, eh nggak tahunya batal diumumkan sebagai salah satu menteri di Kabinet Kerja.
Itulah cerita, lebih tepatnya desas-desus soal Maruarar Sirait, politisi PDIP yang batal didaulat sebagai menteri Jokowi. Kejadian di 2014 itu sempat heboh, walau tak seheboh Pilpres sekarang. Konon, Presiden Jokowi harus "tega" mencopot kursi Menpora yang sebelumnya telah dipersiapkan untuk Maruarar.
Kok bisa? Ya bisa saja, namanya juga dunia politik. Saat itu, Maruarar yang akrab disapa Ara, berusaha tegar saat menjadi sorotan kamera awak media. Menyembunyikan kekecewaannya. Siapapun pasti kecewa di situasi seperti itu.
Sejak kegagalan masuk kabinet itu, Ara yang juga tercatat sebagai anggota DPR, seperti hilang ditelan bumi. Jarang muncul. Hanya sesekali saja. Padahal kita tahu, Ara yang telah duduk sebagai anggota DPR sejak 2004, 2009, dan 2014 merupakan salah satu wakil rakyat yang garang. Ia tergolong sebagai "vokalis Senayan".
Di masa pencalonan Jokowi sebagai presiden di 2019 juga sama. Ara tak banyak berkomentar. Padahal, semasa Jokowi masih menjabat Gubernur DKI, Ara termasuk yang getol mendorong Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri agar menetapkan Jokowi sebagai capres.
Sementara saat itu, Mega masih sangat wajar bila ingin mencoba sekali lagi perhelatan Pilpres. Apalagi, SBY sebagai lawan terberat sejak 2004 dan 2009 sudah tak lagi berhak mencalonkan diri. Otomatis, Mega hampir tak punya lawan tanding sepadan. Kecuali, Jokowi sendiri.
Nah, ketemu kan benang merahnya kenapa Ara pada akhirnya dicoret sebagai calon menteri Jokowi? Semoga Anda bisa menemukannya. Saya yakin Anda sudah paham.
Waktu terus berjalan, Ara setia menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat asal PDIP. Pemilu 2019 pun tiba. Ara yang anak kandung politisi gaek PDIP, Sabam Sirait, ini kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPR untuk keempat kalinya. Tapi apa boleh buat, ia kalah.
Tunggu dulu. Kekalahan Ara bukan tanpa sebab. Penyebab paling mudah, Ara kalah karena berpindah dapil. Dari sebelumnya dapil IX Jawa Barat (Kabupaten Subang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Sumedang) dipindahkan ke dapil III Jawa Barat (Kabupaten Cianjur, Kota Bogor).
Soal berpindah dapil, memang sudah lumrah terjadi di setiap parpol. Termasuk salah satu strategi parpol meraih suara yang lebih banyak lagi.
Dalam konteks Pemilu 2019 yang lebih rumit, perpindahan Ara ke dapil baru, mungkin dalam rangka penguatan basis Jokowi. Tujuan besarnya, agar Jokowi terpilih kembali. Ternyata, kalau memang itu adalah strategi PDIP, kini terbukti. Jokowi menang walau Ara harus rela kehilangan kursinya.
Tetapi, mungkinkah digesernya Ara ke dapil baru merupakan buntut tak berkesudahan Pemilu 2014? Mungkin saja, karena yang paling berhak menentukan dapil caleg adalah Ketua Umum. Siapa yang tahu?
Tetapi, bila menyimak pernyataan Presiden Jokowi yang mengklaim tak lagi punya beban politik di periode kedua nanti, peluang Ara kembali ke pentas politik masih belum tertutup. Jika pun gagal lolos ke Senayan, Ara tetap punya kesempatan lain: masuk kabinet Jokowi.
Apakah kali ini Maruarar bakal melenggang mulus ke Istana? Mari kita tunggu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H