Kalau ada perusahaan tambang asing yang sangat licin seperti belut, maka itu adalah PT Freeport Indonesia. Begitulah kalimat pembuka Simon Sembiring pada awal Bab 6 (Divestasi Freeport; Licin dan Penuh Liku), mendeskripsikan akrobat dan manuver Freeport saat diwajibkan tunduk pada UU Minerba. Â
Bayangkan, urai Simon, sejak diwajibkan divestasi saham sesuai KK 1991, Freeport baru mau tunduk pada 27 September 2018. Itu berarti butuh 27 tahun menundukkan Freeport, atau setelah 5 kali pergantian Presiden. Barulah di era Presiden Jokowi, Head of Agreement (HoA) dan Sales and Purchase Agreement (SPA) antara PT Inalum (Persero) sebagai pemegang saham nasional dengan FCX, induk usaha PT Freeport Indonesia, akhirnya ditandatangani.
Tapi jangan senang dulu, di saat banyak pihak bersorak-sorai karena sukses melakukan divestasi 51,2% saham Freeport tersebut, tak begitu dengan Simon. Ada kejanggalan di balik divestasi itu, yang mungkin belum pernah diungkap selama ini. Kini, Simon menguraikannya dengan jelas dan tegas. Pada bab ini, pembaca akan diajak berkelana ke dunia ala spionase yang penuh dengan intrik.
Diawali dengan terbitnya KK 1967 yang dipercayai masih teramat longgar hingga sangat menguntungkan bagi Freeport. Namun yang paling krusial adalah bahwa KK 1967 belum memuat adanya kewajiban divestasi. Barulah pada KK 1991, kewajiban divestasi itu dicantumkan. KK 1991 sendiri, menurut Simon, bukanlah KK perpanjangan dari KK 1967, melainkan KK baru. Soal kontroversi ini sudah banyak dibahas, sehingga mari kita fokuskan saja terkait "permainan" di balik divestasi.
Simon kemudian mengutip Pasal 24 dan Pasal 24 ayat 2 (a) KK 1991. Pasal ini menyebutkan adanya kewajiban Freeport melepas sahamnya kepada "pihak nasional Indonesia" antara lain WNI, badan hukum Indonesia yang sah dan dikuasai WNI, atau Pemerintah Republik Indonesia. Adapun kewajiban persentase besaran divestasi dilakukan secara bertahap, dimulai sejak tahun kelima setelah KK 1991 atau mulai tahun 1996.
Secara keseluruhan berdasarkan isi KK 1991, divestasi sebesar 51,2% seharusnya sudah terpenuhi pada 2011 atau 20 tahun setelah KK ditandatangani. Faktanya, hingga UU Minerba diterbitkan tahun 2009, saham milik pemerintah Indonesia hanyalah sebesar 9,36%. Kok bisa? Ternyata ada cerita menarik di baliknya.
Baca Juga: Kegalauan Simon Sembiring (5): Freeport, Benang yang Kusut
Freeport memang "berusaha" memenuhi sebagian kewajiban divestasi sesuai KK 1991. Tetapi caranya sangat cerdik nan licik. Inilah yang saya maksud sebagai permainan ala spionase. Peristiwa itu juga terjadi pada Juni 1991, atau 6 bulan sebelum KK 1991 resmi diteken.Â
Aburizal Bakrie, pemilik PT Bakrie Investindo rupanya telah mengupayakan dana besar untuk membeli 10% saham Freeport, sesuai kewajiban divestasi dalam KK. Nilainya cukup fantastis, yakni sebesar USD 223 juta atau sekitar Rp 432 miliar (dengan kurs Rp 1.941 saat itu). Padahal, KK saja belum ditandatangani, kok Aburizal sudah mempersiapkan dana?
Pada 1992, setelah KK 1991 resmi ditandatangani, pemerintah Indonesia akhirnya memperoleh 10% saham Freeport, dan tentu saja PT Bakrie Investindo juga memperoleh pembagian saham serupa yakni sebesar 10% saham. Bakrie kemudian mendirikan PT Indocopper Investama yang khusus menampung saham Freeport tersebut. Sampai di sini, Freeport telah mematuhi kewajibannya untuk melakukan divestasi secara bertahap.