Pada Bab 3 (Akar Kekacauan), pembahasan Simon Sembiring semakin mengerucut terhadap penegakan UU Minerba. Dengan tegas, ia menyimpulkan UU Minerba yang seharusnya memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, ternyata belum sepenuhnya tercapai.
Tak diragukan lagi, sumber atau akar kekacauan yang dimaksud Simon adalah produk turunan UU Minerba itu sendiri. Jadi, bukan UU Minerba yang keliru, tetapi aturan teknis di bawahnya yang justru simpang-siur dan bahkan bertentangan dengan UUD 1945 maupun UU Minerba itu sendiri.
Pada bab ini, Simon juga kembali menyinggung Freeport Indonesia yang enggan mematuhi UU Minerba dan memilih berlindung di balik Kontrak Karya (KK) yang telah ditandatangani pada 1991. Pertanyaannya, kenapa Freeport selalu berupaya berkelit terhadap aturan Indonesia? Celakanya lagi, Freeport selalu sukses "mengelabui" hukum yang seharusnya dituruti.
Salah satu contoh produk hukum turunan UU Minerba yang justru mendatangkan masalah adalah Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP inilah yang menjadi "biang kerok" penyebab mandulnya UU Minerba.
Baca juga:Â Kegalauan Simon Sembiring dalam Kemelut Divestasi Freeport (2)
Secara singkat, PP yang diterbitkan setahun setelah UU Minerba ini, justru memberikan keleluasan kepada perusahaan tambang untuk terus melakukan ekspor mineral tanpa harus melalui pemurnian dan pengolahan (smelter) terlebih dahulu. Di saat bersamaan, kewajiban membangun smelter bagi perusahaan tambang menjadi terlewatkan.
Saat PP tersebut dinilai kurang tepat, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2010. Itu berarti, PP yang lama kini diganti yang baru.
Kemudian seperti kita ketahui bersama, Freeport menolak tunduk terhadap PP tersebut dan berdalih bahwa status hukum yang berlaku atas mereka adalah Kontrak Karya 1991, bukan UU Minerba. Seperti biasa pula, Freeport mengancam akan membawa perkara tersebut ke pengadilan arbitrase internasional.
Penolakan Freeport diketahui berlangsung cukup lama, bahkan hingga era Presiden SBY berakhir dan digantikan Presiden Jokowi. Di zaman Presiden Jokowi, tepatnya pada 2015, puncak karut-marut Freeport pun mengemuka dengan adanya kasus "Papa Minta Saham" serta adanya surat balasan dari Menteri ESDM Sudirman Said (saat itu) kepada petinggi Freeport.
Surat balasan Menteri Sudirman itu sendiri kemudian berubah menjadi blunder di kemudian hari. Bahkan, menjelang Pilpres 2019, isu surat balasan Menteri Sudirman kembali menghebohkan jagad politik nasional.
Lazimkah surat balasan Menteri Sudirman itu?
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H