Alamak...ternyata begini aslinya. Itulah reaksi yang muncul pertama kali saat membaca buku karya Ir Simon Sembiring, Ph.D, seorang kakek yang kini berusia 70 tahun. Judul bukunya "Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan" dengan sub judul: Karut Marutnya Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan.
Simon bukan orang sembarangan, ia adalah mantan Dirjen Minerba, Kementerian ESDM pada 2005-2008. Tambahan lain, Simon adalah jebolan Teknik Pertambangan ITB tahun 1976, ayah 3 orang anak, dan kakek 6 cucu.
Buku yang diterbitkan Gatra Pustaka, ini sudah beredar di toko buku serta diedarkan secara terbatas oleh penulisnya sendiri. Jika Anda ingin membeli di toko buku di Pulau Jawa, mohon siapkan uang sebesar Rp 135.000. Sedangkan di luar Pulau Jawa, buku ini dibanderol Rp 145.000. Saya sendiri cukup beruntung karena akhirnya memiliki buku setebal 360 halaman ini secara gratis, lebih tepatnya dibelikan seorang Kakanda yang baik hati.
Namun Anda tidak akan rugi membeli buku ini. Kenapa? Karena banyak informasi "mengagetkan" yang tersaji secara apik dan komprehensif di dalamnya. Anda akan menemukan kejutan demi kejutan yang sebelumnya samar-samar atau bahkan belum pernah mencuat ke muka publik. Tak perlu khawatir juga, Teguh Sri Pambudi yang didapuk sebagai Editor, juga sukses menghadirkan bacaan yang enak dan (tak) perlu bagi segelintir pihak. Gaya bahasanya populer sehingga memudahkan pemahaman bagi kalangan awam sekalipun.
Tak percaya? Mari kita cermati bersama-sama.
Secara keseluruhan, buku ini terdiri dari 8 Bab, yang diawali dengan kegalauan Simon setelah UU No 4 Tahun 2009 (biasa disebut UU Minerba) diterbitkan. "Dan Aku pun Bertanya", diangkat Simon sebagai prolog alias pengantar betapa UU Minerba hingga satu dekade belum juga ditegakkan sebagaimana mestinya.Â
Namun dalam prolog itu dijelaskan dengan tegas oleh Simon: bahwa motivasi menulis buku ini hanyalah bentuk panggilan untuk negeri, sebagai tanda dan bakti syukur di usianya yang ke-70 tepat pada Januari 2019. Simon menekankan itu, agar tidak ditafsirkan macam-macam.
Pada Bab 1 (Satu Dekade yang Hilang), Simon dengan komplit menguraikan filosofi UU Minerba dan implementasinya setelah 10 tahun diundangkan. Simon menguasai dengan detail UU Minerba karena ia sendiri ikut dalam proses penyusunan UU tersebut.
Salah satu contoh belum tegaknya UU Minerba adalah terkait kewajiban perusahaan tambang untuk mengolah dan memurnikan komoditas tambang. Di media massa, kewajiban ini sering ditulis pembangunan smelter, yang bertujuan meningkatkan nilai tambah bahan tambang. Ilustrasi sederhananya, beras tentu akan lebih mahal ketimbang padi. Itu karena padi sudah diolah terlebih dahulu sehingga menghasilkan beras. Kira-kira seperti itu.
Padahal pada Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba, dengan tegas disebutkan bahwa perusahaan tambang wajib mengolah dan memurnikan hasil produksinya di dalam negeri. Faktanya, belum semua perusahaan tambang tunduk terhadap aturan itu.
Lalu di mana bagian mengagetkannya? Ternyata, perusahaan sekelas PT Freeport Indonesia saja, hingga kini belum juga menyelesaikan pembangunan smelter miliknya. Freeport yang (akhirnya) membangun fasilitas smelter di Gresik, Jawa Timur belum menunjukkan tanda-tanda positif. Bayangkan, hingga Maret 2018, progres pembangunan smelter itu baru mencapai 2,4 persen.
Padahal pemerintah sudah memberikan kelonggaran membangun smelter selama 5 tahun sejak UU Minerba diberlakukan pada 2009. Itu artinya, Freeport sudah seharusnya mengoperasikan smelter sejak 2014 atau 5 tahun setelah UU Minerba diterbitkan. Nyatanya, tidak sama sekali. Meski ulah Freeport cukup mengecewakan, sejumlah perusahaan nasional sudah membuktikan komitmennya membangun smelter.
Sehingga bagi Simon, wacana perlunya revisi UU Minerba yang belakangan ramai dibicarakan, sejatinya sulit diterima akal.
Stop dulu...!
Karena buku ini sangat tebal, saya memutuskan resensi ala kadarnya ini dipisahkan bab demi bab. Tujuannya agar pembaca tidak jenuh dan syukur-syukur ikut menikmati perjalanan yang masih panjang ini.
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H