Kenapa sih masyarakat selalu boros kata kalau menyebut nama sebuah bank? Coba deh, maksud hati menyebut Bank Tabungan Negara (BTN), orang pasti bilang Bank BTN, kan? Bukan BTN saja. Dengan menyebut "Bank BTN", kita sebetulnya sudah boros satu kata 'bank' menjadi Bank (Bank Tabungan Negara). Ada pengulangan untuk kata 'bank'. Aneh kan? Tetapi tenang, bank lain juga begitu kok. Coba sebut nama bank lain terutama yang terdiri dari tiga huruf singkatan. Pasti sama, selalu mengulangi kata 'bank'.
Tetapi pokok persoalan sesungguhnya bukan di situ. Sama sekali tidak berkaitan dengan istilah atau pengucapan yang keliru. Ini lebih ke masalah bulanan, terkait cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di Bank BTN, eh BTN. Ceritanya bermula ketika saya tergolong nekat membeli sebuah rumah sederhana di Depok, Jawa Barat, pertengahan 2015 lalu. Saat itu, oleh pengembang perumahan mungil yang biasa disebut kavling atau cluster itu, saya diarahkan untuk menjadi nasabah BTN.
Singkat cerita, BTN menyetujui permohonan KPR saya dengan angka plafon yang sangat cantik: Rp 333 juta. Pokoknya angka 3 semua. Tapi tolong, ini tidak ada hubungannya dengan nomor parpol Pemilu 2019, sama sekali tidak ada kaitannya. Hati riang dan gembira, dong! Setelah cukup lama "tidur bareng dengan motor" semasa mengontrak rumah di kawasan Cawang, Jakarta Timur, ternyata impian punya rumah sendiri terwujud juga.
Oh ya, biar nggak bingung, "tidur bareng motor" maksudnya begini. Kalau sudah malam hari, sepeda motor pasti diparkirkan ke dalam rumah. Bukan di teras atau garasi rumah. Coba perhatikan, yang masih mengontrak rumah ala "petakan" di Jabodetabek, pasti melakukan ritual itu setiap malamnya. Saya salah satu mantan pelakunya. Hehehe.
Satu lagi, ini masih berdasarkan pengalaman semasa mengontrak. Kalau ada tali jemuran yang membentang dari sudut kiri ke sudut kanan teras rumah, hampir dipastikan rumah itu adalah kontrakan alias rumah yang dikontrakkan.
Satu lagi nih, penulisan 'dikontrakkan' pun masih sering salah. Hampir semua tertulis: dikontrakan dengan hanya satu huruf 'k' saja. Padahal penulisan sesuai bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah "dikontrakkan".
Mari kembali ke topik. Plafon dengan angka cantik Rp 333 juta itu ternyata harus dilunasi dengan waktu sangat lama. Selama 22 tahun. Oh My God, bukan main lamanya. Dimulai sejak 2015 dan akan lunas pada 2037 mendatang. Coba hitung, berapa kali Pemilu lagi itu. Sudah begitu, cicilan per bulannya pun cukup menguras kantong. Pada tahun pertama dipatok sama yakni sebesar Rp 3,5 juta yang biasa disebut flat.
Memasuki tahun kedua hingga sekarang, cicilan per bulannya semakin zig-zag, kini menyentuh angka Rp 3,8 juta. Cukup menyebabkan rasa pusing, terutama di minggu pertama setiap bulannya. Bila dihitung hingga lunas nanti, total uang yang harus saya cicil adalah sekira Rp 1,1 miliar. Padahal plafonnya adalah Rp 333 juta. Itu berarti, jumlah "bunga" bank jauh lebih besar ketimbang jumlah plafon.
Tapi mau bagaimana lagi, sudah syukur Bank BTN mau mengucurkan dana talangan (yang tak berdampak sistemik) kepada saya. Coba kalau dulu ditolak, mungkin ini saat saya masih harus "tidur bareng motor". Sedangkan sekarang, walau masih mengontrak di rumah milik Bank BTN, motor sudah bisa diparkir di garasi.
Pun begitu, saya masih punya harapan di usia ke-69 BTN ini. Sebagai salah satu bank BUMN, saya meyakini Bank BTN yang telah #69TahunMengabdiUntukNegeri memiliki terobosan kepada seluruh nasabahnya. Apalagi Bank BTN kini telah menjadi sahabat generasi milenial dan digital di Indonesia, tentunya terobosan di sektor perbankan merupakan sebuah keniscayaan.
Harapan saya, boleh nggak sih waktu cicilan rumah saya dikurangi? Misalnya menjadi 15 tahun saja atau kalau boleh menjadi hanya 10 tahun. Saya pernah bertanya soal ini ke seorang kolega yang kebetulan bekerja sebagai agen properti. Kata kawan itu, boleh saja mengajukan usulan seperti itu, asalkan saya mau membayarkan sisa plafon yang ternyata berkurang sedikit saja perbulannya.