Tak sampai 10 menit, kami sudah tiba di Bandara Bintuni, sebuah bandara perintis yang berada di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Tujuan kami adalah ke Bandara Rendani yang berada di Manokwari, ibukota Papua Barat. Jika ditempuh lewat darat, Bintuni-Manokwari akan memakan waktu kurang-lebih 8 jam.
Bandara Bintuni terletak di pusat kota Bintuni, diapit pemukiman warga dan beberapa perkantoran pemerintah setempat. Karena hanya bandara kecil, jangan bayangkan suasananya seperti di bandara pada umumnya.
Di sini, kegiatan bandara sangat mirip dengan loket bis. Petugas bandara dan calon penumpang tampak sangat akrab, dan rata-rata sudah saling mengenal. Maklum, penumpang dari Bintuni terbilang sangat sedikit, dan sebagian besar dari penumpang itu adalah penduduk setempat. Namun begitu, bandara ini tetap dilengkapi alat deteksi dan sensor barang-barang yang dilarang diangkut ke dalam pesawat.
Saat check in, calon penumpang tak cukup hanya menunjukkan kartu identitas. Masih ada tambahan satu lagi, yakni menimbang berat badan lengkap dengan barang bawaan.
Calon penumpang akan diminta untuk berdiri di atas sebuah alat timbang yang telah disiapkan di sisi kiri petugas check in. Kemudian petugas akan mencatatnya, barulah kemudian sebuah tiket diserahkan kepada penumpang. Uniknya lagi, tiket itu tidak dilengkapi nomor kursi penumpang di dalam pesawat.
Urusan check in beres, saatnya bersabar di ruang tunggu. Tak usah naik tangga atau eskalator karena ruang tunggunya persis berada di sebelah ruang check in.
Menunggu hampir 30 menit, suara sirine cukup nyaring pun terdengar. Suara itu merupakan pertanda akan ada pesawat yang akan mendarat. Dalam beberapa menit, terlihat sebuah pesawat kecil mendarat dengan mulus tanpa hambatan.
Pilot dan co-pilot juga ikut turun dan memasuki ruang check in. Kemudian keduanya asyik dengan ponsel masing-masing. Oh ya, mayoritas penerbang alias pilot maupun co-pilot di sini adalah warga negara asing alias bule. Berselang 20 menit, kami dipersilakan menaiki pesawat yang baru saja mendarat dan dengan kru pesawat yang sama pula. Satu lagi, pesawat ini juga tidak dilengkapi pramugari.
Sesaat menaiki anak tangga pesawat, petugas bandara telah menyiapkan daftar nama calon penumpang. Petugas akan menyebut nama penumpang sesuai berat badan yang telah ditimbang tadi. Mereka yang berukuran berat akan ditempatkan di bagian depan dan bagian belakang. Sedangkan yang kurus atau sedang, menempati bagian tengah. Begitulah cara mereka untuk menentukan nomor kursi penumpang.
Jika tidak salah, jumlah kursi yang tersedia di pesawat ini hanya 15 saja. Di sisi kiri, diisi satu kursi saja sementara di sisi kanan terdapat dua kursi. Sementara di bagian belakang atau bagian ekor terdapat tiga kursi. Nah, penumpang dan pengemudi pesawat sama sekali tidak bersekat alias berada dalam suatu ruangan. Penumpang bisa dengan jelas melihat bagaimana pilot menerbangkan pesawat.
Jantung rasanya mau copot, cemas, gelisah, hingga telapak tangan ikut berkeringat. Tentu yang bisa saya lakukan hanyalah berdoa saja, dan merasa heran kok penumpang lain bisa tertidur pulas ya? Saya betul-betul iri kepada penumpang yang dapat dengan mudah tidur saat mengangkasa.
Sepanjang penerbangan yang hanya berkisar 50 menit itu, saya menyaksikan secara dekat kondisi hutan Papua yang masih sangat luas dan alami. Ini karena ketinggian jelajah pesawat hanya sekitar 1 kilometer saja di atas permukaan laut.
Awan yang lumayan tebal serasa di ujung jari saja, ketika pesawat kecil itu menembusnya dengan sedikit goncangan. Bahkan, beberapa kali pesawat seperti "menghilang" saat seluruh bagian pesawat ditutupi awan putih. Jantung kembali terpacu cukup kencang, gelisah tak karu-karuan.
Saya makin was-was lantaran pilot dan co-pilot itu santai-santai saja. Mereka sesekali melirik ke bagian bawah sana, melihat ke kejauhan sambil sesekali mengutak-atik monitor di bagian kokpit mungilnya itu. Tak ada kecemasan di wajah mereka. Bahkan, sang pilot cukup sering menyenderkan lengannya ke sisi pintu pesawat. Mirip supir Metro Mini saat meliuk-liuk di tengah jalanan Jakarta.
Saat yang ditunggu pun tiba. Di kejauhan saya melihat lautan dan sebuah pulau dengan banyak bangunan. Saya tahu pesawat tak lama lagi akan mendarat di Bandara Rendani. Berputar sebentar di atas pantai, pesawat yang kami tumpangi pun mendarat dengan cukup mulus.
Namun entah mengapa pula, setiap pesawat yang saya tumpangi akan segera mendarat, rasa cemas dan gelisah sepanjang penerbangan sontak mendadak sirna. Digantikan rasa tenang dan nyaman. Tak ingin melewatkan peristiwa langka itu, saya lantas mengabadikan detik-detik bagaimana pesawat kecil itu mendarat dengan sempurna.
Berikut videonya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H