Jantung rasanya mau copot, cemas, gelisah, hingga telapak tangan ikut berkeringat. Tentu yang bisa saya lakukan hanyalah berdoa saja, dan merasa heran kok penumpang lain bisa tertidur pulas ya? Saya betul-betul iri kepada penumpang yang dapat dengan mudah tidur saat mengangkasa.
Sepanjang penerbangan yang hanya berkisar 50 menit itu, saya menyaksikan secara dekat kondisi hutan Papua yang masih sangat luas dan alami. Ini karena ketinggian jelajah pesawat hanya sekitar 1 kilometer saja di atas permukaan laut.
Awan yang lumayan tebal serasa di ujung jari saja, ketika pesawat kecil itu menembusnya dengan sedikit goncangan. Bahkan, beberapa kali pesawat seperti "menghilang" saat seluruh bagian pesawat ditutupi awan putih. Jantung kembali terpacu cukup kencang, gelisah tak karu-karuan.
Saya makin was-was lantaran pilot dan co-pilot itu santai-santai saja. Mereka sesekali melirik ke bagian bawah sana, melihat ke kejauhan sambil sesekali mengutak-atik monitor di bagian kokpit mungilnya itu. Tak ada kecemasan di wajah mereka. Bahkan, sang pilot cukup sering menyenderkan lengannya ke sisi pintu pesawat. Mirip supir Metro Mini saat meliuk-liuk di tengah jalanan Jakarta.
Saat yang ditunggu pun tiba. Di kejauhan saya melihat lautan dan sebuah pulau dengan banyak bangunan. Saya tahu pesawat tak lama lagi akan mendarat di Bandara Rendani. Berputar sebentar di atas pantai, pesawat yang kami tumpangi pun mendarat dengan cukup mulus.
Namun entah mengapa pula, setiap pesawat yang saya tumpangi akan segera mendarat, rasa cemas dan gelisah sepanjang penerbangan sontak mendadak sirna. Digantikan rasa tenang dan nyaman. Tak ingin melewatkan peristiwa langka itu, saya lantas mengabadikan detik-detik bagaimana pesawat kecil itu mendarat dengan sempurna.
Berikut videonya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H