Martin Manurung terlihat sedang kedinginan. Ia masih setia mengenakan jaket berwarna kebiruan meski hari sudah beranjak siang. Bersama rekan-rekan dan masyarakat setempat, ia ikut larut bercengkerama sambil mengamati denyut kehidupan di sekitarnya.
Begitulah sekilas pandangan saya ketika mengamati sebuah foto yang beredar di Facebook, 2014 silam. Saya tertarik dengan foto itu karena faktor kedekatan emosional. Ya, Martin Manurung sedang berkunjung ke Parsoburan, ibukota Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Tobasa, Sumut. Sebuah kampung yang berhawa dingin karena letaknya di pegunungan. Parsoburan adalah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan.
Lalu apa istimewanya seorang Martin Manurung datang ke Parsoburan? Bukannya sudah biasa, caleg DPR selalu rutin berkunjung ke sana ketika musim kampanye tiba? Lalu baru akan datang kembali ketika musim caleg berikutnya? Bagi saya sangat istimewa.
Alasan paling utama kenapa Martin sangat istimewa adalah karena ia bukan seperti saya, yang lahir dan besar di kampung halamannya. Dari marga yang disandangnya, kampung halaman Martin terletak di Porsea dan sekitarnya, di pinggiran DanauToba, sekitar 50 kilometer dari Parsoburan. Tetapi Martin lahir di Jakarta, pada 31 Mei 1978, dan menghabiskan masa kecil hingga pendidikannya di Jakarta. Sama sekali tidak pernah mengalami lika-liku kehidupan yang mayoritas petani di kampung halamannya.
Meski sudah lahir dan besar di tanah rantau, Martin menurut saya masih sangat mencintai kampung halamannya. Atau lebih luas lagi, mencintai Sumatera Utara. Rasa memiliki dan mencintai inilah yang menjadikan keunikan sekaligus kelebihan dari seorang Martin. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada masyarakat Batak yang lahir di perantauan, rasa cinta seperti yang ditunjukkan Martin saat ini sudah teramat sulit ditemui.
"Ah, itu kan karena Martin mau jadi anggota DPR saja makanya sering pulang kampung."
Tidak juga. Martin bukanlah politisi karbitan, sejak mahasiswa di kampus UI sudah menunjukkan kelasnya sebagai calon pemimpin masa depan. Ia aktivis 98 dan sangat menaruh perhatian terhadap isu-isu kemanusiaan. Namanya sudah tersohor sebagai Ketua DPP Partai NasDem hingga sering menjajaki politik diplomasi hingga ke luar negeri.
Dengan modal itu, sudah cukup bagi Martin untuk ditempatkan di dapil mana saja. Tidak lagi gentar menghadapi politisi dadakan yang kerap juga berstatus pengusaha kaya raya. Namun Martin tetap memilih kampung halamannya sebagai dapil menuju Senayan. Sama seperti Pemilu 2014 yang gagal mengantarkannya ke Senayan, Martin tetap berjuang dari dapil Sumut 2 dengan nomor urut 1.
Adapun dapil Sumut 2 terdiri dari 19 kabupaten/kota. Yakni Kabupaten Labuhanbatu, Labuhanbatu Selatan, Labuhanbatu Utara, Tapanuli Selatan, Kota Padangsidimpuan, Mandailing Natal, Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat, Kota Gunungsitoli, Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Toba Samosir, Samosir, Padanglawas, serta Padanglawas Utara.
Sebagai politisi muda berdarah Batak yang lahir di tanah rantau, konsistensi Martin tetap memilih kampung halamannya sebagai dapil menuju parlemen, menurut saya, adalah sesuatu yang wajar dibanggakan. Martin akan menjadi contoh yang baik bagi anak rantau Batak agar tetap mengingat darimana ia berasal.
Terlepas nanti terpilih atau tidak sebagai anggota DPR dari Partai NasDem, itu sepenuhnya menjadi wilayah masyarakat pemilik suara. Akan tetapi, Martin yang sudah lahir di tanah rantau, telah membuktikan kecintaannya terhadap kampung halaman.