Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Rumah Pak Eko Terkepung Bangunan Tetangga

11 September 2018   14:04 Diperbarui: 12 September 2018   10:11 2757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi yang pernah tinggal atau sering berkunjung ke kota padat seperti Jakarta, menemui gang-gang sempit adalah hal biasa. Masuk dari gang A keluar dari gang C dan sebaliknya. Gang di dalam gang juga banyak, yang tak jarang membuat pengunjungnya wajib rajin bertanya. Kalau tidak, kemungkinan berputar-putar di dalam gang akan jauh lebih lama hanya untuk sekadar mencari jalan keluar gang. Mengutip pepatah lama, "Malu bertanya sesat di gang".

Begitulah fenomena yang memang melanda kota besar belakangan ini. Melonjaknya pertambahan penduduk tidak sebanding dengan kebutuhan hunian. Akibatnya, bangunan tempat tinggal alias rumah bermunculan di mana-mana, tanpa peduli walau akses jalannya sangat terbatas. Semua karena kebutuhan tempat tinggal, bukan karena keinginan hidup bersempit-sempitan.

Namun, ada kalanya kebutuhan membangun hunian di dalam gang menemui perkara rumit. Setidaknya, itulah yang sedang menimpa Eko Purnomo saat ini, seorang warga Kampung Sukagalih, Desa Pasirjati, Kecamatan Ujungberung, Kota Bandung, Jawa Barat. 

Dalam pemberitaan Kompas.com disebutkan, Eko terpaksa harus meninggalkan rumah yang telah ditempatinya sejak 2008 itu. Penyebabnya, akses jalan ke rumahnya kini telah terkepung oleh bangunan tetangga.

Kasus ini sangat menarik dicermati. Sebab pihak yang "mengepung" rumah Eko bukanlah korporasi besar yang bergerak di sektor properti, melainkan warga biasa yang tidak mempunyai kepentingan bisnis tertentu.

Itu berarti tantangan yang dihadapi Eko jauh lebih ringan ketimbang tantangan yang seringkali dihadapi warga perkampungan kota saat "digoda" perusahaan properti besar untuk berpindah tempat tinggal. Atau kasus lain, ketika sekelompok warga yang tempat tinggalnya bakal dibangun jalan tol, harus terlebih dahulu berdebat panas hingga tak jarang menempuh jalur hukum.

Eko dalam hal ini hanya berurusan dengan tetangga yang ingin membangun rumah di atas tanah yang memang miliknya. Tetangga Eko yang membangun rumah di atas tanahnya tentu saja tidak bisa disalahkan, setidaknya secara hukum. Sebab pemilik tanah memang berhak atas tanahnya. Di sinilah persoalan pelik yang sedang dialami Eko. Ia tak berdaya, tak punya celah hukum untuk menuntut. Meski Eko hanya menghadapi tetangga, ternyata tantangannya tak kalah rumit ketimbang ketika harus menghadapi korporasi besar.

Pertanyaannya, apakah peristiwa yang menimpa Eko terjadi akibat keteledoran pemerintah setempat saat menerbitkan IMB rumah tetangganya itu tanpa mempertimbangkan akses jalan ke rumah Eko? Atau sebaliknya, IMB rumah Eko juga tidak mempertimbangkan akses jalan? Kedua pertanyaan ini muncul bila ditinjau dari sisi hukum.

Dari sisi sosial masyarakat, apakah tetangga Eko begitu "tega" menyaksikan Eko tidak bisa menempati rumahnya karena akses jalan yang terkepung? Sebab menurut pengakuan Eko, ia sebenarnya sudah menawarkan untuk membeli sebagian tanah tetangganya itu seharga Rp 10 juta. Sayang, penawaran dari Eko tidak dikabulkan dan bersikukuh membangun rumahnya walau harus menutup akses jalan ke rumah Eko.

Jika sudah begini, campur tangan pemerintah setempat dibantu tokoh masyarakat menjadi sangat penting. Menghadirkan solusi yang sama-sama diterima Eko dan tetangga. Mungkin tidak mudah karena juga menyangkut hukum kepemilikan, tetapi dengan pendekatan sosio-kultural, kelak masalah tersebut semoga saja akan menemui solusi terbaik.

Ke depan, pengalaman Eko tentu harus menjadi pembelajaran bagi semua pihak khususnya kepada pemerintah sebagai regulator. Penerbitan IMB harus dilakukan lebih hati-hati lagi dengan mempertimbangkan banyak aspek. Sementara bagi masyarakat, hendaknya juga membangun komunikasi dengan sesama tetangga. Bukankah dengan saling mengenal satu sama lain, akan lebih mudah melakukan pendekatan? Mari mempererat tali silaturahmi di antara tetangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun