Pilgub Sumut 2018 sudah berlalu. Pendukung fanatik Edy-Ijeck maupun Djarot-Sihar kini kembali berbaur. Melupakan masa-masa kampanye yang cukup menguras emosi itu. Saatnya kembali bergandengan tangan, membangun Sumut ke arah yang lebih baik.
Selanjutnya, mari mempercayakan nasib Sumut lima tahun ke depan kepada Letjen (Purn) Edy Rahmayadi dan Musa Rajeksyah yang telah resmi menjabat Gubernur-Wakil Gubernur Sumut periode 2018-2023. Edy-Musa dilantik bersama 8 gubernur-wakil gubernur terpilih lainnya di Pilgub 2018 oleh Presiden Jokowi di Istana, Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Tapi tunggu dulu, sebentar lagi Pemilu 2019 segera tiba. Pesta demokrasi lagi. Jumlah kandidatnya sama seperti Pilgub Sumut yakni hanya dua pasang: Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi. Bagi masyarakat Sumut, kedua pasangan itu tak ada masalah. Bebas memilih sesuai nurani, tanpa tekanan. Tetapi bagi Gubernur Edy, ini menjadi masalah pelik. Pertanyaan sederhananya, mendukung Jokowi atau Prabowo?
Menjadi pelik karena semua tahu dan semua paham, Prabowo bersama koalisinya berjasa sangat besar memenangkan Edy-Musa. Maka balasan atas jasa Prabowo Cs itu seharusnya diganjar aksi serupa yakni mendukung keinginan Prabowo menjadi Presiden. Semacam take and give. Sangat sederhana.
Faktanya, Edy belum menyatakan kesiapannya mendukung secara total Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 nanti. Bahkan, Edy membuka peluang lain yakni dengan mendukung Jokowi-Ma'ruf. Keraguan Edy itu terlontar saat baru saja dilantik sebagai Gubernur Sumut di Istana Kepresidenan. Diberitakan berbagai media massa, Edy menyebut masih akan melihat dulu perkembangan terkini di wilayahnya sehingga belum bersedia memutuskan untuk mendukung salah satu pasangan capres.
Pernyataan Edy itu sudah pasti menjadi kabar buruk bagi Prabowo. Setelah bersusah-payah mengalahkan Djarot-Sihar, hingga mengajak mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo berkampanye ke Medan, Edy malah memberikan dukungan mengambang kepada Prabowo. Tidak tegas dan cenderung membuka peluang bagi Jokowi.
Kenapa Edy tidak tegas saja mendukung Prabowo yang telah berjuang keras demi dirinya? Ternyata, Edy memang harus hati-hati untuk menentukan sikap. Ini berkaitan erat dengan separuh parpol pendukung Edy-Ijeck dalam Pilgub Sumut yang kebetulan saat ini berada dalam gerbong koalisi Jokowi. Yakni NasDem, Golkar, PKB, dan Hanura. Sedangkan parpol pendukung Edy yang saat ini bergabung di koalisi Prabowo adalah Gerindra, PKS, PAN, serta Demokrat.
Peta dukungan inilah yang memaksa Edy harus berhitung lebih cermat. Tidak elok juga langsung menyatakan dukungan ke Prabowo, sementara NasDem Cs yang di Pilpres mendukung Jokowi, juga ikut berjasa atas kemenangan Edy.
Apalagi, perolehan suara Edy-Ijeck dibandingkan Djarot-Sihar hanya selisih tipis meskipun telah memborong hampir seluruh parpol. Sangat gemuk ketimbang parpol pengusung Djarot-Sihar hanya terdiri dari PDIP dan PPP. Tetapi faktanya, perolehan suara Edy-Ijeck hanya unggul sedikit saja.
Gemuknya koalisi Edy-Ijeck semasa Pilgub terutama kemenangan tipis atas Djarot-Sihar itulah yang menyebabkan sikap ragu-ragu mendukung Prabowo. Sehingga agar lebih aman, Edy terpaksa mengambil jalan tengah dengan tidak menentukan sikapnya.
Edy sudah berhitung dengan matang. Jika mendukung Prabowo-Sandi tetapi ternyata kalah, kepemimpinannya di Sumut berpotensi sulit mendapat dukungan penuh dari pemerintah pusat. Edy tentu saja tidak mau mati kutu di periode kedua Jokowi. Sebab membangun Sumut sangat sulit dilakukan tanpa adanya dukungan kebijakan maupun anggaran dari pemerintah pusat.