Caleg baru akan ngos-ngosan melawan kami caleg incumbent.
Begitulah peringatan keras yang dilontarkan Asmadi Lubis, Wakil Ketua DPRD Tobasa, Provinsi Sumut. Peringatan itu dituliskan di dinding facebook miliknya, awal Juni 2018, yang dalam sekejap menuai komentar dari banyak warga Tobasa. Asmadi tampaknya sedang berupaya memberikan gambaran bahwa perjuangan merebut satu kursi legislatif di DPRD Tobasa bukanlah perkara gampang.
Saking sulitnya, Asmadi memprediksi kursi DPRD Tobasa 2019-2024 yang akan datang hanya akan menampung sebanyak 20 persen wajah baru. Sisanya, yakni 80 persen adalah caleg incumbent. Kok bisa? Menurut Asmadi, setidaknya ada empat faktor kenapa caleg baru akan ngos-ngosan melawan caleg lama.
Pertama, caleg incumbent masih punya kekuatan politis untuk mengarahkan bantuan pemerintah ke wilayah yang menjadi daerah pemilihannya sendiri. Misalnya, lewat program bagi-bagi bibit pertanian maupun hewan, alat pertanian, dan lainnya.
Untuk bagian bibit ini, gelak tawa tak tertahankan karena Asmadi menyertakan pembagian bibit beruang dan homang alias kera. Mana ada pembagian beruang dan kera oleh pemerintah. Sudah pasti Asmadi sedang ingin menjelaskan bahwa caleg incumbent mampu serta memiliki jaringan kuat guna meraih kemenangannya kembali dengan memanfaatkan tangan pihak eksekutif. Meminjam nabok nyilih tangan, istilah yang dipopulerkan Anas Urbaningrum itu, caleg incumbent merevisinya menjadi nyawer nyilih tangan, dengan merangkul pemerintah untuk memberikan berbagai bantuan kepada masyarakat.
Kedua, caleg incumbent lebih mudah memboncengi kesempatan reses DPRD ke dapil masing-masing melalui serangkaian acara yang ujung-ujungnya untuk menarik simpati. Reses yang seharusnya beragendekan menyerap aspirasi itu dengan mudah dibelokkan untuk semakin menancapkan pengaruhnya. Apalagi, duit sebesar Rp 20 juta hingga Rp 25 juta dikantongi masing-masing caleg incumbent untuk sekali reses. Itu bukan duit pribadi mereka, tetapi sudah dianggarkan dalam APBD.
Ketiga, caleg incumbent relatif lebih berkantong tebal ketimbang caleg baru. Ini karena pendapatan per bulan seorang anggota DPRD Tobasa bisa mencapai Rp 50 juta. Itu baru pendapatan resmi yang diperolehnya dengan beragam kompenen pendapatan. Dalam setahun, caleg incumbent berarti memperoleh pendapatan sedikitnya Rp 600 juta, atau Rp 3 miliar dalam satu periode legislatif.
Keempat, caleg incumbent mempunyai ruang yang luas untuk menggarap suara ASN alias PNS untuk menambah pundi-pundi dukungan. Soal ini, Asmadi kurang detail menjelaskan bagaimana metode permainan yang lazim diterapkan caleg incumbent untuk menarik gerbong dukungan ASN. Kalau boleh berandai-andai, caleg incumbent barangkali berusaha menggiring penempatan ASN untuk posisi tertentu, dengan imbalan balas suara di Pemilu 2019 nanti.
Celakanya, Asmadi mengkalkulasi biaya yang dibutuhkan seorang caleg agar berpeluang meraih satu kursi DPRD berada di kisaran angka Rp 700 juta. Wow, bukan main. Itu pun belum seratus persen menjamin kemenangan. Sebab kalau sudah seratus persen, mungkin akan banyak caleg baru yang siap berlomba-lomba merogoh kocek dalam-dalam, bahkan bila perlu menjual ladang dan sawah. Kenapa begitu? Karena duit Rp 700 juta itu akan dengan mudah "balik modal" setidaknya dalam rentang menjabat satu tahun dua bulan saja.
Atau sederhananya, modal Rp 700 juta masih terbilang sedikit dibandingkan pendapatan Rp 3 miliar selama lima tahun menjabat. Dengan kata lain, seorang DPRD akan mengumpulkan uang sebanyak Rp 2,3 miliar dalam satu periode. Masalahnya, tidak ada jaminan kemenangan walau telah menghabiskan dana kampanye hingga Rp 700 juta.
Walau berat, Asmadi tetap melihat ada peluang kemenangan bagi caleg baru. Yakni memperkuat kesiapan dan strategi di lapangan. Namun bila memperhatikan empat faktor kenapa caleg incumbent kembali menang, terdapat dua pilihan bagi caleg baru.
Pertama, menjadi antitesa prediksi itu dengan meruntuhkan asumsi bahwa modal logistik uang bukanlah segalanya, walau segalanya tentu saja membutuhkan uang. Kedua, melipatgandakan modal logistik untuk melampaui kemampuan finansial dan jaringan yang telah diraih caleg incumbent.
Tanpa bermaksud "mengukur kantong" para caleg baru, pilihan yang paling masuk akal saat ini adalah menjadi antitesa teori modal Rp 700 juta itu. Itu artinya para caleg baru terpaksa harus mencari jalan unik dan menarik agar suara pemilih tidak lagi berbondong-bondong ke caleg incumbent. Memang sulit, apalagi di tengah apatisme dan pragmatisme masyarakat saat ini yang sudah terlanjur mendewakan kekuasaan uang.
Kalau begitu, dibutuhkan Rp 700 juta untuk mengamankan satu kursi DPRD Tobasa, apakah mitos atau fakta? Temukan jawabannya pada April 2019 mendatang.
Horas....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H