Tidak ada yang salah dengan tuntutan pekerja selama tuntutan itu masih dalam koridor, sebagaimana sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menjadi soal, ketika tuntutan tersebut pada akhirnya malah merugikan konsumen melalui aksi mogok kerja. Makin tidak tepat jika ancaman mogok justru disuarakan karyawan yang tergabung dalam perusahaan BUMN. Apa kata dunia?
Begitulah yang sedang menghangat dalam beberapa pekan terakhir, ketika pilot dan karyawan Garuda Indonesia yang tergabung dalam Serikat Pekerja GA (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG), mengancam mogok kerja bila tuntutan mereka tidak dikabulkan manajemen. Puncaknya, Sekarga dan APG bahkan ingin 'memboikot' penerbangan Garuda menjelang Lebaran 2018. Jika itu betul-betul terjadi, sungguh sebuah peristiwa yang cukup memalukan.
Terkait ancaman mogok itu, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi berharap agar pilot Garuda untuk berpikir ulang. Menteri Budi meminta karyawan dan pilot Garuda untuk mengingat kembali bahwa Garuda Indonesia merupakan kebanggaan bangsa Indonesia, sehingga kurang elok bila diganggu dengan cara aksi mogok.
Pernyataan Menteri Budi itu bukanlah harapan yang mengada-ada. Garuda Indonesia sebagai perusahaan milik negara merupakan kebanggaan dari bangsa Indonesia, menjadi jembatan udara bagi Nusantara untuk menjelajah angkasa dunia.
Boleh-boleh saja melakukan tuntutan kepada perusahaan selama masih dalam jalur yang sesuai koridor. Meminjam istilah penerbangan, jangan sampai tuntutan itu menyimpang dari panduan ATC hingga mengakibatkan turbulensi hebat yang berdampak pada kerugian semua pihak.
Dari sudut pandang lain, tuntutan pilot Garuda yang menghendaki perubahan nomenklatur dan jumlah jajaran direksi juga sedikit menggelikan. Sebab pada umumnya, munculnya aksi mogok kerja karyawan dilakukan karena bersentuhan dengan aspek kesejahteraan. Dengan kata lain, aksi mogok kerja biasanya hanya dilakukan oleh mereka yang bergaji "pas-pasan" saja. Bukan oleh mereka yang bergaji selangit plus tunjangan sejagad.
Lihat saja, gaji yang dikantongi pilot Garuda sangat menggiurkan. Pundi-pundi pilot yunior saja sudah berada di angka Rp 60 juta per bulan. Kian menanjak ketika sudah menyentuh level senior, dengan kisaran gaji antara Rp 100 juta hingga Rp 150 juta. Mengantongi gaji sebanyak itu rupanya masih membuat pilot Garuda merasa tidak puas. Singkatnya, tuntutan pilot Garuda bukan soal besaran upah kerja yang jamak dipersoalkan buruh pada umumnya.
Lalu apa? Itu tadi, meminta pemerintah untuk membenahi jajaran direksi seperti pengurangan maupun mengganti jajaran direksi yang dianggap kurang kompeten di dunia penerbangan. Menurut pilot, jika tuntutan itu dipenuhi, akan berdampak positif terhadap kinerja maupun neraca keuangan Garuda Indonesia.
Di sini, pilot terkesan mengajari pemegang saham dalam hal ini pemerintah yang tentu saja diisi orang-orang berkompeten untuk menjalankan roda bisnis Garuda. Di antara jajaran direksi sah-sah saja ada yang tidak punya keahlian menerbangkan pesawat, tetapi bukan berarti yang bersangkutan tidak cakap menjalankan bisnis penerbangan. Sebaliknya, seorang dokter spesialis jantung, misalnya, mungkin saja meninggal dunia karena serangan jantung. Itu berarti, menghubungkan keahlian sebagai profesi dan keahlian dalam manajerial, tidak selamanya saling terkait satu sama lain.
Merugikan Konsumen dan Merah Putih
Terlepas dari polemik antara manajemen Garuda dan karyawannya, yang paling dirugikan tentu saja adalah para penumpang yang sebetulnya tidak tahu apa-apa. Penumpang hanya berkewajiban membeli tiket pesawat, datang tepat waktu sebelum terbang, dan duduk manis di kabin pesawat sesuai arahan pramugari dan pramugara. Bila terlambat check in, tiket yang sudah dibeli pun otomatis hangus dan tidak terpakai.
Sudah begitu, penumpang kini malah dihantui ketidakpastian terbang oleh persoalan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan mereka. Penumpang yang telah membeli tiket tentu mempunyai hak untuk terbang, yang sayangnya justru tidak dihargai para pilot betul-betul melakukan aksi mogok. Lalu, di mana tanggung jawab moral para pilot kepada para penumpangnya?
Lebih dari itu, Garuda Indonesia bukanlah perusahaan swasta. Garuda Indonesia merupakan simbol dan cerminan harga diri bangsa Indonesia di mata dunia. Silakan saja melakukan tuntutan, tetapi jangan sampai mempermalukan Merah-Putih di angkasa dunia. Kita berharap pilot Garuda masih mempunyai jiwa nasionalisme yang malu jika sampai Merah-Putih mengalami delay bahkan sedetik pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H