Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Awak Jangan Mimpi, Kemenangan Mahathir di Malaysia Sulit Terjadi di Indonesia

10 Mei 2018   23:06 Diperbarui: 10 Mei 2018   23:23 1723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu kala, meniru kalimat pembuka cerita lawas, kami anak-anak yang tinggal di pelosok Sumatera Utara cukup beruntung kalau soal siaran televisi. Selain TVRI yang menjadi saluran satu-satunya milik Indonesia, kami juga dengan nyaman menikmati siaran televisi tetangga. Saat itu, siaran televisi dari Malaysia yang bisa ditangkap dengan menggunakan antena televisi yang menjulang tinggi di atas atap rumah, sudah berjumlah tiga. TV1, TV2, dan TV3. Jika tak salah mengingat, TV1 itu kepunyaan pemerintah Malaysia layaknya TVRI. Sedangkan TV2 dan TV3 punya swasta.

Favorit anak-anak adalah TV1 dan TV2 karena sering memutar film yang enak ditonton. Karena sudah akrab, kami pun sudah paham betul tentang bahasa Melayu ala Malaysia. Misalnya, "awak" di Malaysia itu adalah "kau". Uniknya, kata "awak" di Medan itu justru diartikan "saya/aku". Tetapi itu tidak menjadi masalah bagi kami, yang penting tontonan yang disuguhkan TV Malaysia itu cukup mengasyikkan.

Saking akrabnya dengan televisi Malaysia, kami mau tak mau familiar pula dengan pemimpin negeri itu yang sering mondar-mandir dalam sebuah iklan mobil "Proton". Bahkan lagu dalam iklan "Proton" itu pun sampai bisa kami tirukan dan sering dinyanyikan bersama-sama. Salah satu bintang iklan mobil produksi Malaysia itu adalah Mahathir Muhammad, yang di era 90-an masih tampak enerjik dan terlihat muda.

Kini, meski sudah uzur tetapi dia kembali tampil ke panggung politik. Hebatnya lagi, di luar dugaan banyak pihak justru mampu menumbangkan petahana yang telah berkuasa selama 10 tahun. Semua terhenyak tetapi itulah yang terjadi. Mahathir, kakek berusia 92 tahun itu kembali terpilih sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia mengalahkan PM Najib Rajak.

Sontak, pemberitaan tentang kemenangan Mahathir di Malaysia juga menghebohkan jagad politik Tanah Air. Betapa tidak, Mahathir muncul sebagai pemenang meski berstatus oposisi. Lalu sejumlah politisi mengaitkan kemenangan Mahathir itu sangat mungkin juga terjadi di Pilpres 2019 nanti. Jokowi akan dikalahkan oleh kubu oposisi di bawah komando Gerindra. Tetapi betulkah semudah itu?

Lihat saja komentar Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria seperti diberitakan berbagai media massa, yang mengaitkan latar belakang kemenangan Mahathir di Malaysia mempunyai irisan serupa dengan apa yang terjadi di Indonesia. Yakni terkait soal utang luar negeri dan masifnya investasi dari Cina ke negeri serumpun itu. Menurut Riza Patria, isu tersebut tak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia saat ini.

Politisi dari parpol lain seperti PKS maupun Demokrat juga senada, yang mendadak optimistis bahwa posisi petahana tak selamanya menjamin akan dengan mudah mengalahkan penantang. Itu artinya, meski Jokowi saat ini sebagai petahana, tetapi sangat mungkin tumbang oleh bergulirnya isu utang dan investasi asing. Penilaian itu tentu sah-sah saja. Sebab politik seperti kata banyak orang adalah tentang seni kemungkinan. Tidak ada yang mutlak dan absolut kecuali kepentingan politik itu sendiri.

Akan tetapi, terlalu sempit bila mengaitkan kemenangan Mahathir juga akan dengan mudah berlaku di Indonesia. Alasannya sederhana, yakni Mahathir adalah mantan PM Malaysia yang sebelumnya juga telah berkuasa selama 22 tahun.

Dalam masa berkuasa itu pula, Mahathir terbukti sukses membawa kemajuan. Malaysia berubah menjadi negara yang pesat dalam berbagai sektor terutama dalam ekonomi dan pengaruhnya di kawasan Asia. Menara Petronas adalah salah satu karya monumental yang berdiri pada zaman Mahathir. Maka tak berlebihan apabila Mahathir dianggap sebagai seorang legenda bagi rakyat Malaysia.

Sehingga, Mahathir yang menjabat PM Malaysia sejak 1981 hingga 2003 tentu tak sebanding dengan pemimpin oposisi Indonesia saat ini, semisal Prabowo Subianto. Rekam jejak keduanya amat berbeda. Mahathir tentu saja berbeda kelas dengan Prabowo ataupun SBY, misalnya. Jika mau dibandingkan, Mahathir berada dalam level yang sama dengan Soeharto, baik dari segi pengalaman maupun usia. Bedanya, Soeharto ditumbangkan sementara Mahathir mengakhiri masa jabatannya dengan mulus.

Isu yang diangkat Mahathir hingga mampu menumbangkan Najib memang mempunyai kesamaan dengan apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Tetapi sekali lagi, sosok Mahathir yang merupakan tokoh bangsa Malaysia mempunyai pengaruh yang lebih kuat ketimbang isu-isu tersebut. Rakyat Malaysia memang merindukan kehadiran seorang Mahathir. Dia dibutuhkan ketika rakyat Malaysia merasa pemimpin saat ini tidak lagi membawa perubahan seperti yang telah pernah diukir oleh Mahathir.

Maka sangat sumir rasanya bila berharap kemenangan Mahathir akan dengan mudah terjadi juga di Indonesia. Namun biarkanlah itu menjadi manuver politik kubu oposisi yang tentu saja tidak bisa dilarang oleh siapapun. Toh, pemilik suara sejati adalah seluruh rakyat Indonesia.

Di Indonesia, siapa sih yang dirindukan saat ini? Awak jangan mimpi, deh.

Sebagian isi artikel telah ditayangkan di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun