Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jangan Lagi Menulis Artikel, Saatnya Membuat Video Keren

9 April 2018   22:19 Diperbarui: 9 April 2018   22:26 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Era Video (Tribunnews)

Kabar buruk datang. Seisi kampung gempar. Seorang anggota keluarga dikabarkan meninggal dunia di Jakarta akibat kecelakaan kerja. Keluarga di Jakarta kini sibuk mempersiapkan kepulangan jenazah korban ke kampung halaman. Paling lambat satu hari lagi akan tiba. Orang tua korban di kampung tak kuasa menahan tangis, tak mengira putera sulungnya akan secepat itu menghadap Ilahi.

Korban ternyata sudah lima hari lalu menemui ajal. Hanya saja, akibat keterbatasan sarana komunikasi, kabar buruk itu baru diketahui setelah lima hari berlalu lewat sepucuk surat yang diantar petugas Pos. Jenazah akhirnya tiba di kampung dan dimakamkan pada hari itu juga. Hanya kepedihan yang tersisa.

Begitulah sepenggal kisah yang pernah terjadi di kampung halaman saya di era 1990 dan sebelumnya. Kala itu hanya Pos Indonesia yang melayani kebutuhan sarana komunikasi penduduk yang masih berkerabat erat itu. Sehingga bila kejadian mendadak seperti kematian, teramat sulit untuk berkabar ke keluarga di rantau, atau sebaliknya.

Gelombang teknologi pun mulai terasa di era milenium, sejak terjadinya pemekaran daerah kabupaten atau provinsi dimulai. Telepon mulai masuk yang dengan cepat mengubah pola dan gaya hidup penduduk setempat. Di zaman itu, Warung Telekomunikasi (Wartel) pun laku keras. Tiap malam, Wartel itu selalu berubah menjadi "pasar malam" akibat banyaknya penduduk yang ingin mendengarkan suara kerabatnya melalui pesawat telepon. Otomatis, kabar-kabar penting dan genting pun kini tak lagi soal.

Era Wartel pun perlahan pudar dengan masuknya era telepon seluler pada 2006 lalu. Penduduk berlomba membeli ponsel hingga pada akhirnya berubah menjadi kabar buruk bagi Wartel. Tak lama, Wartel lantas gulung tikar, ditinggal penggemarnya yang kini berbincang menggunakan telepon genggam. Kabar apapun, dalam sekejap langsung diterima sanak-saudara di tanah rantau.

Episode pun berlanjut dengan masuknya era internet pada 2010. Wartel yang tadinya gulung tikar kini disulap menjadi Warung Internet (Warnet). Sontak, Warnet itu kembali diserbu yang kali ini paling banyak diminati kaum muda. Sedangkan orangtua masih asyik dengan ponselnya, tidak terlalu tertarik berselancar di dunia maya. Namun tak lama, Warnet menyusul takdir Wartel. Digulung habis oleh era internet yang sudah tersedia di ponsel. Tidak lagi perlu antri di Warnet hanya untuk sekadar mengecek atau berkirim surat elektronik alias email.

Era internet pun seolah mengubah segalanya. Teknologi betul-betul memanjakan penggunanya. Ditambah kehadiran media sosial, maka komplitlah kehidupan di dunia maya. Semuanya terhubung tanpa batas. Segala informasi bisa dengan mudah diperoleh dalam tempo singkat dan cepat.

Dalam periode selanjutnya, berbagai usaha akhirnya tumbang akibat terpaan internet. Salah satunya adalah media massa cetak, roboh satu per satu dan berganti wajah ke media daring atau online. Perubahan zaman pun datang dengan sangat cepat hingga melahirkan istilah populer seperti viral maupun hoaks. Semuanya berawal dari internet.

Tetapi tunggu dulu. Perubahan sepertinya masih akan berlanjut terus. Usai menumbangan media massa cetak, media daring sebentar lagi juga akan mengalami nasib serupa. Setidaknya dalam model penyajiannya. Jika saat ini masih berkutat pada artikel dan foto, tak lama lagi dunia internet termasuk media massa akan digantikan oleh kehadiran video. Maka secara alamiah, industri televisi pun tak lama lagi akan merasakan dampak "pahitnya" serangan internet.

Jika sudah begitu, ini mungkin saatnya segera bersiap-siap memproduksi video sebanyak-banyaknya. Siapa tahu nanti video hasil produksi sendiri itu akan menjadi ladang duit. Apalagi, media sosial Youtube yang selama ini masih diakses terbatas karena khawatir tersedot pulsa, kemungkinan besar akan menawarkan inovasi baru. Terlebih lagi, kebutuhan belanja internet saat ini pelan-pelan sudah memasuki harga yang cukup terjangkau. Bahkan, siapa tahu, internet dalam waktu dekat justru akan diakses secara gratis.

Kesimpulannya, inilah waktunya mengasah kemampuan membuat video berkualitas. Sebab tak lama lagi, artikel berkualitas sepertinya akan berubah wujud. Istilah "penulis terkenal" atau "penulis hebat" bakal digantikan oleh istilah "pembuat video keren". Sudah siap?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun