Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melihat Kemarahan Luhut dari Perspektif Kebudayaan Batak

26 Maret 2018   20:08 Diperbarui: 26 Maret 2018   20:28 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau kau merasa paling bersih kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga kok," begitulah pernyataan keras Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan saat menanggapi tudingan "ngibul" dari tokoh politik senior Amien Rais.

Sontak pernyataan keras Luhut itu dimaknai sebagai sebuah ekspresi kemarahan, penuh dendam, dan bahkan arogan. Mentang-mentang sedang berkuasa, Luhut dicap malah sedang memamerkan kekuatan yang mampu menciduk siapapun. Singkatnya, mirip Orde Baru. Kritik sedikit urusannya bisa panjang.

Lalu, betulkah Luhut sedang membawa Indonesia kembali ke zaman Pak Harto? Tanpa bermaksud membela Luhut yang notabene juga berdarah tulen Batak seperti saya, kekhawatiran akan kembalinya rezim Soeharto masih terlalu jauh. Setidaknya, penilaian ini bila mengacu pada tradisi dan budaya yang berlaku dalam tatanan sosial masyarakat Batak khususnya Batak Toba.

Dalam perspektif kebudayaan Batak, ucapan Luhut yang menyebut "memangnya kau siapa", masih dalam tahap biasa-biasa saja. Sekadar ilustrasi, di sebuah Kedai Tuak (Lapo Tuak) di kampung saya, ada peringatan di dinding kayu yang dituliskan menggunakan kapur tulis. Isi tulisannya begini:

1-3 biasa saja

4-6 mulai terasa

7-10 tembok sama rata

11-13 Ambulans

Peringatan 1-3 dan seterusnya itu mengacu pada berapa banyak gelas tuak yang sudah ditenggak para penggemarnya. Jika masih meminum 3 gelas, dapat dipastikan peminumnya masih dalam tahap normal alias belum terdampak alkohol tuak. Tetapi jangan sampai menyentuh level 10 gelas, konsumen mungkin sudah harus dibopong untuk kembali ke rumahnya. Tentu kita sudah tahu apa yang bakal terjadi apabila peminum sudah melewati batas 13 gelas. Label "drunken master" menjadi miliknya.

Begitulah sekilas ilustrasi tentang bagaimana kebudayaan Batak mengekspresikan kemarahannya. Sehingga jika Luhut hanya berucap "memangnya kau siapa", belumlah masuk dalam kategori "kemarahan berat" tetapi masih dalam tahap "kemarahan ringan".

Contoh lain sebetulnya bisa dilihat juga ketika dua putera Batak yakni Hotman Paris Hutapea dan Ruhut Sitompul kerap beradu mulut secara langsung maupun tidak langsung. Bagi sebagian kalangan khususnya di luar Batak, perseteruan keduanya mungkin dipahami sebagai sesuatu yang sudah menjurus anarkis. Tetapi bagi masyarakat Batak, hal-hal seperti itu masih dalam tahap normal. Bukan berarti Hotman-Ruhut bukan sedang marah, tetapi kemarahan keduanya masih tetap dalam kondisi terkendali.

Lalu, betulkah Luhut akan membongkar dosa-dosa masa lalu pihak yang menurutnya mengkritik pemerintah tanpa data, dalam hal ini Amien Rais? Jawabannya tergantung. Bisa ya dan bisa tidak. Akan betul-betul dibongkar (kalaupun ada) apabila Amien Rais tidak segera melakukan islah politik dengan pemerintahan Jokowi. Bisa juga tidak, dengan catatan Jokowi menghentikan langkah Luhut.

Lagi-lagi, kedua kemungkinan itu bila dilihat dari kebudayaan Batak pada umumnya. Yakni, apa yang telah diucapkan (membongkar masa lalu) akan betul-betul dilakukan apabila tidak ada titik temu antara Jokowi-Amien. Di sini peran diskusi dan kompromi menjadi sangat penting. Dengan kata lain, jika Amien masih melancarkan serangan kepada Jokowi, dipastikan Luhut akan betul-betul turun tangan. Tidak ada lagi kompromi.

Sebaliknya, dosa masa lalu Amien Rais (kalaupun betul-betul ada) tidak akan dibongkar jika Jokowi memberikan perintah "hentikan" kepada Luhut. Ini tidak terlepas dari kebudayaan Batak yang berupaya sekuat mungkin untuk loyal terhadap kesepakatan. Dalam hal ini, Luhut akan tetap tunduk terhadap apapun keputusan Jokowi sebagai Presiden. Bahasa gaulnya, Anak Medan pun rela hancur demi kawan.

Nah, kemarahan Luhut kepada Amien Rais bila disimpulkan sebetulnya masih belum ada apa-apanya bila dinilai dari sudut pandang kebudayaan Batak. Walau sangat wajar pula jika kemarahan itu ditanggapi negatif dan bahkan berlebihan oleh pihak lain.

Untuk itu, Luhut yang saat ini berada di pusat kekuasaan agaknya perlu menata kembali pernyataan-pernyataannya. Penataan itu sangat perlu guna menghindari adanya miskomunikasi dan anggapan miring terhadap Luhut dan pemerintahan Jokowi. 

Bila boleh sedikit memberi masukan kepada Ompung Luhut, tirulah gaya komunikasi Jokowi yang ke mana-mana selalu senyum. "Saya tidak ada potongan otoriter," begitu kata Jokowi saat membuka Rapimnas Demokrat, beberapa waktu lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun