Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Mengalah Sedikit Saja, Ferdinand Hutahaean Genggam Komisaris BUMN

15 Maret 2018   01:00 Diperbarui: 15 Maret 2018   01:11 5726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cuaca yang cukup terik saat rombongan bis rombongan Jakarta-Bandung memasuki areal parkir sebuah hotel lumayan asri. Turun dari bis, seperti biasa ritual wajib bagi perokok adalah mengambil sebatang rokoknya lalu diselipkan di bibir. 

Tus...terjadilah sedikit polusi udara. Akibat dikejar jadwal ketat, kami yang berangkat sejak subuh dari Jakarta, tiba-tiba saja diminta panitia segera bergabung dengan sebuah acara perusahaan BUMN, lebih tepatnya hajatan serikat pekerja BUMN. "Ayo Mas, acaranya sudah dimulai," begitu salah satu panitia mengajak rombongan yang berbusana tampil apa adanya. Tidak cling.

Apa boleh buat, walau baru lima kali hisapan, candu nikotin yang terselip di jari pun terpaksa dihentikan. Khawatir ditegur sekuriti di lobby hotel yang rajin memasang wajah senyum. Kan malu ditegur lantaran merokok di tempat umum. Rombongan pun bergerak, menyusuri lobby hotel bernuansa tradisional itu lalu menuruni anak tangga dengan pemandangan sebuah kolam renang di tepi tembok hotel. 

Usai menuruni tangga, tibalah ke sebuah ruangan berukuran cukup lebar dengan ventilasi terbuka. Semilir angin pun langsung terasa. Selain tempat bersantai, ruangan itu juga berfungsi sebagai restoran.

Alamak, saya takjub sekaligus gembira. Saya gembira karena ternyata oh ternyata, di lobby hotel itu tidak ada larangan menghisap nikotin. Begitu juga dengan ruangan santai plus restoran, boleh-boleh saja menikmati nikotin. Kabar gembira bagi saya, tentu saja. Bagi yang lain mungkin kabar buruk, juga bagi sebagian Kompasianer. Maaf ya. Jangan ditiru.

Acara pun berlangsung normal, diselingi tepuk tangan dan kepalan tangan ke udara khas yel-yel aktivis. Di sela acara, saya memilih keluar sejenak. Melanjutkan ritual yang terputus tadi. Tetapi pandanganku tertuju kepada seseorang yang sedang asyik bermain gawai. Dia duduk di deretan meja paling pinggir di dekat kolam renang. Tak lain, saya meyakini pria itu adalah sosok yang cukup sering saya hubungi lewat sambungan Whatsapp untuk keperluan wawancara isu-isu seputar energi.

Ferdinand Hutahaean. Ya, itu dia. Tak salah lagi, dia menjabat Direktur Eksekutif di lembaga kajian Energy Watch Indonesia (EWI). Pria yang dalam beberapa hari terakhir cukup heboh diperbincangkan di jagad maya. Aksinya yang walkout saat Presiden Jokowi berpidato di Rapimnas Demokrat, menuai polemik. Ferdinand dianggap tidak menghargai tamu khusus Demokrat, orang nomor satu di negeri ini. 

Namun Ferdinand tetap pada sikapnya. Ia mengaku tidak ada dendam secara pribadi kepada Jokowi. Sehingga aksi keluar ruangan saat Jokowi berpidato semata-mata hanyalah bentuk protes politik kepada Jokowi. Ferdinand hanya ingin merepresentasikan kekecewaannya kepada Jokowi melalui aksi walkout. Tidak lebih.

Padahal, jika mau sedikit saja "mengalah", Ferdinand bakal duduk di jabatan empuk di salah satu perusahaan BUMN. Ia akan ikut mencicipi nikmatnya berkuasa seperti banyak aktivis maupun pihak yang dianggap ikut mengantarkan Jokowi ke singgasana Istana. Kita tahu tanpa harus menyebut nama, sejumlah komisaris perusahaan BUMN saat ini berasal dari kalangan yang sebelumnya berjasa memenangkan Jokowi dalam Pemilu 2014 lalu. Pun begitu, tradisi bagi-bagi kue kekuasaan semacam itu bukan hanya terjadi di era Jokowi belaka. Tetapi di setiap rezim.

Begitulah kesimpulan yang saya petik saat menghampiri Ferdinand, memperkenalkan diri, lalu asyik mengobrol sana-sini khususnya terkait isu politik terkini. Tanpa bermaksud membela sikap walkout-nya, Ferdinand menurut saya adalah seorang aktivis yang siap menunda "kekuasaan". 

Sebab tidak sulit bagi Ferdinand untuk merebut satu kursi komisaris BUMN bila memperhatikan faktor kedekatannya dengan Jokowi sejak masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Ferdinand yang kemudian tergabung dalam Bara JP, secara total mengkampanyekan Jokowi sebagai capres hingga akhirnya memenangi pertarungan melawan Prabowo.

Tetapi takdir berkata lain. Ferdinand kemudian meninggalkan Jokowi hingga bergabung ke Partai Demokrat. Di situlah barangkali momen kurangnya kesabaran Ferdinand. Karena Jokowi dinilainya tidak sesuai janji politik, tanpa beban pula ia memilih hengkang. Cuma saya lupa bertanya, kenapa Ferdinand lebih memilih Demokrat dan bukan ke Gerindra sebagai simbol ketegasan lawan politik Jokowi? Entahlah, yang jelas Ferdinand langsung mendapat tempat di Demokrat hingga dipercaya mendampingi SBY dalam sejumlah kegiatan politik.

Sambil menikmati secangkir kopi, saya juga sempat bertanya alasan SBY menunjuk Hinca Panjaitan sebagai Sekjen menggantikan Ibas. Hinca, sebagaimana penuturan Ferdinand, adalah seorang organisatoris yang mempunyai bakat mengkoordinasikan seluruh organ-organ di tubuh Demokrat. Itulah mengapa Hinca ditunjuk SBY dan atas persetujuan Ibas melepaskan jabatannya.

Poros Jokowi atau Poros SBY

Kehadiran Jokowi di Rapimnas Demokrat juga seolah-olah membuka peluang baru terjalinnya koalisi PDIP-Demokrat. Poros Jokowi yang disebut-sebut sulit mencari tandingannya kian komplit seandainya Demokrat masuk sebagai peserta baru. Namun spekulasi itu sepertinya masih prematur walau peluang tetap ada. Sebab SBY juga konon bersiap membentuk poros baru dengan menggandeng PKB dan PAN. Lagi-lagi, skenario ini pun diragukan sulit terbentuk oleh banyak pihak.

Lantas, bagaimana sikap Ferdinand jika SBY ternyata mengubah haluan dengan mengalihkan dukungan kepada Jokowi dengan syarat menggandeng AHY sebagai cawapres pada Pemilu tahun depan. Mudah saja. Diam atau mundur. 

Diam berarti mendukung pencalonan Jokowi-AHY walau dalam gerakan senyap. Ini adalah konsekuensi sikap Ferdinand yang telah terang-terangan menunjukkan sikap perbedaan politiknya di hadapan Jokowi. Atau pilihan kedua, mundur dari kepengurusan Demokrat sehingga menghilangkan beban politik sekaligus kesan negatif dari publik. Kedua pilihan itulah yang perlu dipertimbangkan secara matang.

Namun, mencermati cuitan-cuitannya di media sosial, Ferdinand sepertinya sangat meyakini bahwa penggabungan poros Jokowi dan poros SBY merupakan sesuatu yang sulit terwujud. Bahkan mustahil. 

Dengan kata lain, Ferdinand akan tetap berada di Demokrat sekaligus mempertahankan posisinya sebagai lawan politik Jokowi. Cuitan Ferdinand menjadi gambaran hampir utuh dari sikap SBY dalam menentukan arah koalisi Demokrat. Rasa-rasanya, AHY justru dipersiapkan SBY menjadi capres penantang Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun