"Boleh-boleh saja menggugat tetapi yang keren dong." Begitulah kesan pertama yang timbul dalam benak saya ketika membaca berita soal somasi seorang warga bernama Rohayani (50) kepada PT Gudang Garam Tbk dan PT Djarum. Oh ya, saya bukan sedang membela kedua perusahaan itu walau saya adalah seorang perokok. Kebetulan pula, saya bukan penikmat rokok dari kedua produsen rokok itu. Saya lebih cocok dengan racikan tembakau dan cengkeh produsen rokok lain, yang tak lain pesaing Gudang Garam dan Djarum.
Lalu kenapa saya bilang kalau menggugat itu semestinya yang keren? Maksud saya, gugatannya yang keren bukan penggugat atau tergugatnya. Terlepas dari boleh tidaknya gugatan itu secara hukum, tetapi rasanya kurang tepat kalau menggugat sebuah perusahaan dalam hal ini rokok hanya karena konsumennya merasa kecanduan dan mengalami penurunan kualitas hidup. Tetapi itulah alasan Rohayani melayangkan somasi.
Hebatnya lagi, Rohayani menggandeng advokat senior di republik ini yakni Todung Mulya Lubis, yang belum lama ini telah dilantik Presiden Jokowi sebagai Dubes RI di Norwegia. Tak ketinggalan, Rohayani juga ikut menggandeng Azas Nainggolan dari Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau Indonesia. Komplit, sudah.
Dalam somasinya, Rohayani yang mengaku menjadi pecandu rokok Gudang Garam dan Djarum sejak 1975 hingga 2000, lantas menuntut ganti rugi kepada Gudang Garam sebesar Rp 178.074.000. Jumlah itu sama dengan uang yang dihabiskan Rohayani untuk membeli rokok produk Gudang Garam ditambah santunan senilai Rp 500 miliar. Rohayani juga menuntut Rp 293.068.000 kepada Djarum, ditambah santunan senilai Rp 500 miliar. Jika ditotal, kedua tuntutan mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Alamak, langsung kaya raya.
Sejenak, saya pun tergoda melakukan hal serupa. Bayangkan, dengan modal somasi saja, saya berpeluang memperoleh ganti rugi dan santunan dari sebuah perusahaan rokok. Uang itu tentu saja dalam jumlah besar mengingat rentang waktu merokok dan klaim penurunan kualitas hidup yang rasanya sulit dihitung dan hanya bisa diraba-raba.
Namun, mendadak godaan melayangkan somasi itu lenyap mendadak. Barangkali, karena saya bukan orang hukum sehingga merasa pekerjaan itu adalah tindakan sia-sia belaka. Kenapa? Wong yang menyuruh saya merokok kan bukan perusahaan rokok. Lalu kenapa saya harus menuntut mereka? Lagipula, saya memperoleh rokok dengan cara membeli, yang berarti tidak ada rayuan gombal maupun pemaksaan dari produsen rokok agar saya merokok. Belakangan, produsen rokok juga sudah menempeli setiap bungkus rokok dengan gambar-gambar seram plus tulisan berisikan peringatan bahaya merokok.
Pertanyaannya, apakah perokok yang merasa dirugikan bisa begitu saja menuntut perusahaan rokok? Tentu bisa, jika produsen rokok melakukan kesalahan semisal bungkus rokoknya Djarum tetapi isinya Gudang Garam, atau sebaliknya. Itu jelas penipuan. Atau menjual produk rokok tersebut jauh melampaui harga yang telah ditetapkan. Sebab bagaimanapun, cukai rokok yang dipungut pemerintah tetap masuk ke kas negara.
Bila itu yang terjadi, konsumen sah-sah saja melayangkan gugatan karena melanggar UU Perlindungan Konsumen. Oh ya, saya tidak tahu juga apakah UU Perlindungan Konsumen boleh dijadikan dasar untuk mengajukan somasi apabila konsumen merasa kecanduan terhadap produk sebuah perusahaan.
Terakhir, jika somasi Rohayani akhirnya dikabulkan maka saya pun berniat untuk melakukan hal serupa. Sungguh, itu pekerjaan mudah untuk mendatangkan pundi-pundi rupiah. Tetapi bila sebaliknya, saya pun tidak habis pikir kenapa advokat sekaliber Todung bersedia menangani kasus seperti itu. Bagaimana mungkin perusahaan rokok akan kalah melawan perokok yang merasa kecanduan?
Sejujurnya, selain kecanduan rokok di luar produksi Gudang Garam dan Djarum, saya pun merasa kecanduan dengan kopi sachet produksi Kapal Api, tetapi apakah saya berhak menuntut mereka? Apalagi, minuman kopi dalam berbagai studi juga diketahui menimbulkan berbagai penyakit yang rentan menurunkan kualitas hidup penikmatnya termasuk saya. Tetapi masa sih saya menuntut Kapal Api?
Oh ya, sebagai perokok saya bukannya anti terhadap mereka yang tidak merokok. Saya sendiri sangat menyadari adanya ancaman kesehatan yang disebabkan rokok. Itu sebabnya saya juga setuju terhadap adanya larangan merokok di tempat-tempat tertentu. Misalnya di bandara, stasiun, mal, dan tempat publik lainnya. Namun biar adil, karena perokok memperoleh rokok dengan cara membeli dan negara memperoleh cukai dari sana, ruangan khusus perokok di berbagai tempat umum itu juga seyogianya disediakan.