Lama dinanti, akhirnya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Kamis, 4 Januari 2018, resmi mengumumkan Djarot Saiful Hidayat sebagai calon gubernur Sumut pada Pilkada 2018. Walaupun memang, penunjukan Djarot sama sekali tidak lagi mengejutkan.Â
Pengumuman Megawati hanyalah bersifat penegasan saja, sebab banyak pihak sudah merasa yakin bahwa Djarot yang mantan Gubernur DKI Jakarta akan ditugaskan ke Sumut.
Megawati dalam pernyataannya menyebut Djarot cocok dengan karakter terbuka masyarakat Sumut. Hal sama juga pernah dilontarkan Djarot dengan mengaitkan persamaan antara masyarakat Sumut dengan Jawa Timur.Â
Keduanya, menurut Djarot yang asli berdarah Jawa Timur, sama-sama terbuka dan eksplosif. Adanya persamaan sosio-kultural itulah yang membuat Djarot semakin optimistis akan diterima masyarakat Sumut.
Djarot semakin yakin ketika beberapa waktu lalu melakukan road show ke sejumlah wilayah di Sumut, termasuk mengunjungi Danau Toba. Dalam rangkaian perjalanan itu, masyarakat Sumut tampak antusias menyambut kedatangannya. Mengelu-elukan Djarot sebagai pemimpin yang layak sebagai gubernur Sumut. Tak lain, harapan itu muncul dari satu orang yakni, Ahok.
Ya, Ahok bagi mayoritas warga Sumut terutama etnis Tionghoa dan Batak adalah sosok fenomenal. Masyarakat Sumut merindukan ciri-ciri pemimpin seperti Ahok yang keras, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling. Karakter Ahok memang cocok untuk memimpin "Anak Medan" yang dikenal berkarakter terbuka tetapi tetap sportif. Satu-satunya kelemahan Ahok adalah ketika "menyeberang" ke ranah keyakinan orang lain.
Sayangnya, kasus yang melilit Ahok itu juga sangat dihindari di Sumut. Anak Medan boleh saja berkarakter keras tetapi selalu menghargai keyakinan lawan-lawannya dengan selalu objektif terhadap inti persoalan. Contoh, saat bom gereja di Medan pada 2000 lalu, sama sekali tidak menimbulkan gesekan antara pemeluk Kristen dan Islam. Sebab, mereka menyadari cara-cara seperti itu hanyalah sebuah provokasi untuk menimbulkan kegaduhan.
Bandingkan dengan bentrokan ormas seperti Pemuda Pancasila (PP) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK) yang kerap terjadi di Medan dan sekitarnya. Bentrokan itu semata-mata terjadi akibat "rebutan" lapak alias bermotif rupiah. Dengan kata lain, tensi masyarakat Sumut lebih mudah disulut oleh latar belakang ekonomi ketimbang faktor lain seperti keyakinan.
Bayang-bayang Ahok
Sumut selama ini dikenal sebagai daerah majemuk yang seluruh masyarakatnya berbaur tanpa membeda-bedakan latar belakang keyakinan dan asal-usul. Namun begitu, Sumut sejatinya dihuni mayoritas agama Islam dan suku Melayu dan Jawa. Sisanya adalah Kristen dan Batak disusul etnis Tionghoa. Faktor kemajukan inilah yang menjadi modal politik sekaligus ancaman politik bagi Djarot.
Sumut yang dikenal sangat terbuka dan tidak terlalu peduli terhadap isu SARA, kini kembali diuji dengan kedatangan Djarot. Sebab, bagaimana pun, bayang-bayang Ahok yang tersandung kasus di Jakarta akan mempengaruhi citra Djarot.
Apalagi, dalam tradisi Pilgub Sumut yang telah berlangsung dua kali, pemenangnya adalah kader PKS, partai yang secara politik berseberangan dengan Ahok maupun PDIP. Kemenangan PKS dalam Pilgub Sumut tersebut juga sekaligus menggambarkan bahwa modal kepercayaan diri Djarot masih jauh dari cukup. Djarot akan kesulitan memenangi Pilgub Sumut apabila masih terus dibayang-bayangi Ahok.