LEBIH kurang satu bulan lagi, Jakarta bakal mempunyai pemimpin baru. Pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno akan resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, periode 2017-2022. Sejumlah program unggulan tentu saja sudah dipersiapkan Anies-Sandi, yang muaranya adalah demi kemajuan dan kesejahteraan seluruh warga Jakarta.
Dari sekian program unggulan yang disosialisasikan lewat janji kampanye sebelumnya, penghentian reklamasi Teluk Jakarta adalah salah satunya. Anies berungkali berjanji akan menghentikan proyek tersebut karena dipandang justru merugikan bagi rakyat banyak, khususnya mereka yang berprofesi sebagai nelayan. Sebaliknya, proyek penimbunan tanah dan pasir di atas lautan itu dinilai hanya menguntungkan pengembang, yang nantinya akan memanen rupiah lewat penjualan properti di atas lahan reklamasi.
Jika Anies memilih menghentikan, tak begitu dengan pemerintah pusat yang dalam hal ini diwakili Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan. Oleh Luhut, tidak ada alasan untuk menyetop reklamasi baik dari sisi regulasi maupun sisi teknis dan lingkungan. Itu artinya, Anies dan Luhut berada di dua kubu yang berbeda, meski statusnya sama-sama unsur pemerintah.
Isu reklamasi kian menarik lantaran kedua kubu sama-sama merasa berhak untuk memutuskan dari sisi regulasi. Anies sebagai gubernur merasa mempunyai landasan hukum, sementara Luhut juga demikian. Pertanyaannya, siapa yang betul-betul berwenang sebenarnya? Untuk pertanyaan ini, sungguh rumit membahasnya. Biarkanlah para ahli hukum yang berdebat panjang-lebar untuk itu.
Namun, sebagaimana penamaan rubrik di Harian Kompas, bahwa Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan. Keduanya saling terikat dan terkait. Bukankah produk hukum yang kita kenal merupakan hasil dari proses politik di parlemen? Selanjutnya, dengan bermodal hukum, semua bisa dilakukan demi tujuan politik. Maka hukum dan politik ibarat dua sisi yang terus berdampingan, kadang berkawan tetapi tak jarang pula berlawanan. Tergantung situasi. Kira-kira begitu pemahaman saya.
Bila dikaitkan dengan reklamasi, maka kehadiran hukum dan politik pun menjadi sangat dominan. Anies dan Luhut boleh saja berbeda pendapat mengenai dasar hukum penentuan nasib reklamasi. Pada waktu bersamaan, aspek politik yang sangat kuat mempengaruhi aspek hukum juga akan berjalan. Sederhananya, pertarungan reklamasi nantinya akan berujung pada pertarungan politik antara Anies dan Luhut.
Jika begitu, siapakah kira-kira yang mampu memenangi pertarungan politik itu? Di sinilah puncak keseruannya. Anies dengan segala dukungan politiknya akan berupaya melawan hegemoni Luhut yang selama ini kerap "membuldoser" pihak-pihak yang dianggapnya telah keluar jalur. Sehingga, Anies kemungkinan besar akan kesulitan bila harus berhadap-hadapan dengan Luhut. Sebab sejauh ini, Luhut yang dijuluki "Jenderal di Segala Medan" ini memang selalu sukses mewujudkan program yang telah digariskan Presiden Jokowi. Loyalitas dan totalitas Luhut sungguh tidak perlu diragukan lagi.
Meski begitu, Anies dengan statusnya sebagai gubernur juga memiliki kekuatan politik yang terbilang dahsyat. Ia boleh saja menghentikan proyek reklamasi demi kesejahteraan rakyat Jakarta. Sebagai gubernur yang dipilih rakyat, Luhut tidak mempunyai jalur hukum untuk, katakanlah, melengserkan Anies. Nah, sekarang pertarungan sesungguhnya hanya berada di jalur politik. Dengan kata lain, satu-satunya cara untuk memuluskan reklamasi adalah dengan "menumbangkan" Anies secara politik.
Dan, sebagaimana disinggung di awal, hukum dan politik selalu berdampingan. Hukum bisa dimanfaatkan untuk menumbangkan lawan politik, sementara politik seringkali ampuh membelokkan hukum yang sesungguhnya.
Jika ditanya, sanggupkah Anies melawan Luhut? Saya tidak tahu, sebab dalam politik konon segalanya mungkin saja terjadi. Selamat menanti drama reklamasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H