Memang susah jadi orang yang tak punya, ke manapun naik bis kota. Begitulah penggalan lirik sebuah lagu yang tenar di masa kejayaan musisi Ahmad Albar. Orang-orang yang berkantong tipis mau tidak mau harus naik bis kota yang penuh sesak. Alternatif transportasi lain khususnya sepeda motor, kala itu, memang sangat terbatas.
Namun, pergeseran pun dimulai sejak pabrikan sepeda motor mulai menggeliat di Tanah Air. Uang muka maupun cicilan sebuah sepeda motor, dihitung-hitung hanya berbeda sedikit dengan biaya menggunakan tarif bis kota. Alhasil, masyarakat perkotaan khususnya di Jabodetabek berlomba-lomba untuk mencicil motor, berharap tak lagi bersesakan di bis kota. Maka dalam tempo sangat singkat, jalanan Jakarta mendadak menjadi "lautan" sepeda motor.
Di saat bersamaan, pertumbuhan mobil pribadi juga sebetulnya meningkat pesat. Itu bisa dilihat dari dealer mobil yang juga ikut latah menurunkan uang muka maupun cicilan per bulannya. Target pasarnya terdiri dari masyarakat kelas menengah ke atas, yang menginginkan adanya transportasi nyaman sekaligus bergengsi.
Persinggungan antara melonjaknya jumlah sepeda motor dan mobil pribadi pun akhirnya menimbulkan masalah baru. Kemacetan terjadi di hampir seluruh Jakarta, terutama di pagi hari dan sore hari. Jumlah kendaraan bermotor tidak lagi seimbang dengan ruas jalan yang dilalui. Pemerintah pun sebetulnya telah banyak melakukan terobosan guna mengurangi tingkat kemacetan, seperti membangun fly over, by pass, ataupun memberlakukan sejumlah rekayasa lalu lintas.
Sayangnya, jurus pemerintah yang berusaha menekan kemacetan terbukti masih kurang ampuh. Apa boleh buat, mayoritas masyarakat perkotaan sudah terlanjur menyenangi kendaraan pribadi ketimbang transportasi umum. Akibatnya, pemerintah pun terpaksa menerapkan berbagai aturan baru guna menekan masifnya kendaraan pribadi yang masuk ke jantung Jakarta, khususnya kawasan Thamrin dan Sudirman.
Aturan itu antara lain pemberlakuan 3 in 1 dan nomor polisi ganjil-genap untuk mobil, sementara sepeda motor dibatasi dengan larangan masuk area inti Jakarta, yakni Thamrin dan Sudirman, dan direncanakan akan meluas hingga ke Kuningan. Hasilnya? Sepertinya belum terlalu manjur, kemacetan parah masih kerap terjadi, dan bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan kaum urban Jakarta.
Meski begitu, pemerintah DKI Jakarta rupanya tetap ingin menjalankan aturan tersebut meski harus mendapat protes dari kalangan pengguna jalan, terutama para pengendara roda dua. Pembatasan roda dua memasuki Jakarta diyakini pemerintah, paling tidak, mampu menghadirkan citra asri dan nyaman di jantung Ibu Kota. Saya meyakini, langkah pembatasan sepeda motor bukanlah untuk mengurangi tingkat kemacetan, tetapi hanya sekadar memoles sebagian wajah Jakarta dari lautan roda dua.
Sebetulnya, tidak sulit mengetahui penyebab utama kemacetan di Jakarta. Ya, apa lagi kalau bukan jumlah mobil pribadi yang terus meningkat tajam. Tidak perlu data statistik rumit untuk membuktikannya. Bahwa penyebab kemacetan sesungguhnya adalah mobil pribadi. Tidak percaya? Yuk kita intip jalur tol dalam kota maupun tol Jagorawi. Di pagi dan sore hari, pemandangan di kedua jalur tol ini tidak bisa terlepas dari kemacetan. Kemacetan kian menggila bila akhir pekan ataupun libur panjang telah tiba. Padahal, kendaraan roda dua dilarang melintas di sana. Tetapi kok bisa tetap macet?
Mari kita bergeser ke jalanan non tol atau jalur biasa. Di tiap kemacetan, coba hitung berapa buah angkutan umum seperti bis kota dan angkot yang terjebak macet? Jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah mobil pribadi yang berjejer rapi dari ujung ke ujung. Sementara sepeda motor biasanya hanya akan melintasi sisi kiri jalan, yang lebarnya tak lebih dari satu meter.
Di sinilah poin pentingnya. Bahwa pengguna sepeda motor yang terus-menerus dituding sebagai biang kemacetan, sama sekali tidak masuk akal. Berapa luas sih volume jalan yang digunakan satu buah motor? Bandingkan dengan mobil pribadi yang memborong hingga separuh volume jalan. Hitungan mudahnya, volume jalan yang digunakan satu buah mobil pribadi sama dengan 5-6 sepeda motor.
Kesimpulannya, kemacetan di Jakarta mustahil bisa diatasi apabila hanya dengan membatasi masuknya kendaraan bermotor. Justru, aturan itu akan melahirkan persoalan baru di kalangan masyarakat kelas bawah. Mereka yang berkantong tipis, mau tidak mau, harus mencari cara untuk tetap bisa bekerja di jalur macet Jakarta. Misalnya, dengan terpaksa berjalan kaki atau menaiki bis TransJakarta yang penuh sesak. Sementara mereka yang berkantong tebal, akan terus menikmati kemacetan Jakarta sembari mendengarkan siaran radio plus hembusan sejuk pendingin udara roda empat.
Ah, memang susah jadi orang yang tak punya. Ke manapun dilarang naik motor.
Catatan: Dilarang Baper
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H