Dasar Wong Cilik, sekalinya piknik sudah langsung berani mengkritik. Saya membatin begitu tatkala jari-jemari ini gatal untuk menuliskan kegalauan tentang sebuah tempat rekreasi di pinggiran Jakarta. Tentu, sudah tidak asing lagi, stiker tempat wisata ini banyak dijumpai di kaca belakang mobil pribadi di sekitar Jabodetabek. Ya, mana lagi kalau bukan Taman Buah Mekarsari.
Terletak di Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Taman Buah Mekarsari yang selanjutnya kita singkat TBM saja, merupakan gudangnya tanaman buah-buahan. Bahkan, untuk mengelilingi TBM, jangan coba-coba kalau hanya mengandalkan telapak kaki. Gempor, bro...Luasnya ampun-ampunan.
Sebagai wong cilik, saya tentu saja sangat penasaran apa saja sih yang ada di TBM? Ternyata bukan hanya gudangnya buah-buahan saja, sejumlah permainan kini hadir di sana. Sebut saja, Water Kingdom, 3D Art, dan sejumlah wahana lain yang tak kalah serunya dengan tempat wisata sejenis.
Namun, jika mengkritik positif masih dibolehkan, saya ingin memberikan masukan sedikit kepada pengelola TBM. Yakni, tentang keasrian TBM itu sendiri. Berkunjung ke TBM di siang hari, dipastikan akan membuat "gosong" kulit khususnya kaum Hawa. Jangankan mereka, saya saja yang berkulit gelap, berubah kian "gulita" oleh sengatan matahari yang langsung menusuk ke pori-pori. "Wah, bisa gagal perawatan kulitku," begitu candaanku kepada anggota keluarga yang berbaik hati memboyong saya ikut dalam acara "libur kecil kaum kusam", meminjam istilah Iwan Fals, Minggu, 20 Agustus 2017.
Pepohonan di TBM memang cukup banyak, tetapi rasanya kalah jumlah dengan luas TBM itu sendiri. Pohon beringin nan rindang hanya terlihat di sejumlah titik. Sisanya, hanya pepohonan kecil yang terlihat kurang terawat. Bahkan, agar tidak dituding hoaks, saya sengaja mengabadikan sebuah pemandangan yang kurang enak dipandang mata. Yaitu sebuah tempat duduk yang awalnya didesain melingkar, dipenuhi tumbuhan yang kalau saya tak salah, itu adalah pohon anggur. Wah, tempat duduknya berkarat, pohon anggurnya kurang terawat hingga terlihat gersang, dan lantai keramiknya sudah mulai terkelupas. Kira-kira, sudah bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya bila harus berteduh di sana.
Oh ya, tiket masuk TBM sebenarnya cukup mahal buat kantong wong cilik. Dipatok Rp 25 ribu per orang di hari libur, itu di luar biaya parkir, dan biaya tambahan lain bila ingin menikmati wahana di dalam TBM.
Namun, tak elok pula rasanya bila hanya mampu mengkritik. TBM setidaknya juga menyuguhkan "spot" yang ramai diserbu pengunjung. Yaitu air terjun buatan yang dibuat mengalir dari puncak sebuah gedung. Namun, saya tidak tahu apakah gedung itu sengaja dikhususkan untuk air terjun atau apakah bagian dalamnya tetap digunakan oleh pengelola.
Mudah-mudahan, TBM yang diresmikan Presiden Soeharto pada 14 Oktober 1995 silam ini, segera berbenah diri agar pengunjung wong cilik seperti saya mempunyai rasa rindu untuk kembali ke sana.
Merdeka....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H