Pemerintahan Jokowi-JK yang terus mengebut pembangunan infrastruktur di seluruh pelosok negeri merupakan kebijakan yang patut diapresisasi. Dengan terbukanya akses transportasi, akan berdampak pada tumbuhnya perekonomian lokal serta berbagai kemudahan positif lainnya. Namun, dalam pelaksanaannya, salah satu isu yang sangat krusial dibahas adalah bagaimana mekanisme dan prosedur pembebasan lahan demi tercapainya impian mulia tersebut.
Salah satu contoh kecil, yang mungkin saja di daerah lain terjadi hal serupa, adalah pelebaran jalan umum menuju Desa Lumban Balik dan sekitarnya. Sedikit informasi, Desa Lumban Balik dan sekitarnya merupakan desa yang masih terpencil yang berada di wilayah Kecamatan Habinsaran, Tobasa, Sumut. Dalam rangka peningkatan pembangunan, Pemkab Tobasa memutuskan untuk melakukan pelebaran jalan menuju desa tersebut. Sampai di sini, tentu saja kebijakan itu merupakan terobosan yang layak diapresiasi.
Namun, dalam proses pelebaran jalan itu, sebidang tanah milik warga Parsoburan (Ibu Kota Kecamatan Habinsaran) yang berada di wilayah Dolok Nanggaraja (lahan pertanian), tanpa pemberitahuan (sosialisasi) dari pemerintah langsung saja "direbut" dengan menerjunkan alat berat.
Saya, sebagai salah satu pemilik lahan yang terdampak, sudah mencoba berkomunikasi dengan sejumlah warga di sana melalui sebuah grup di media sosial Facebook. Termasuk anggota salah satu grup tersebut adalah Wakil Ketua DPRD Tobasa, Bapak Asmadi Lubis. Menurut Bapak Asmadi yang juga merupakan wakil rakyat dari daerah pemilihan Habinsaran, kebijakan tersebut disepakati memang tanpa adanya ganti rugi dengan alasan Pemkab Tobasa tidak memiliki anggaran untuk itu.
Lantas, kami bertanya kenapa tidak ada sosialisasi terlebih dahulu? Beliau menjawab bahwa untuk kepentingan umum, kenapa sih tidak mau berkorban? Beliau tidak memberikan alasan kenapa Pemkab ataupun camat/lurah setempat tidak pernah mengundang pemilik lahan untuk sekadar berdiskusi. Saya juga telah mengirimkan sms kepada camat/lurah setempat untuk bertanya seputar kasus ini. Namun, tidak ada respons sama sekali.
Padahal, sebagai masyarakat yang masih memegang teguh adat dan kekeluargaan, menyelesaikan persoalan tersebut bukanlah perkara sulit. Hal inilah yang semakin membuat saya curiga, kenapa begitu sulitnya aparat pemerintah untuk mengajak pemilik lahan untuk berunding? Ada apa di balik proyek itu?
Perlu saya tegaskan juga, saya dan keluarga serta pemilik lahan terdampak lainnya, bukanlah ANTI PEMBANGUNAN. Kami justru merasa senang jalan itu diperlebar karena dipastikan akan berdampak positif terhadap masyarakat Lumban Balik dan sekitarnya. Termasuk bakal melonjaknya harga jual tanah milik kami. Namun, kenapa tidak ada sosialisasi sama sekali?
Atas berbagai masukan dari teman, saya akhirnya melaporkan kasus ini kepada Ombudsman Republik Indonesia, tertanggal 27 Juli 2017. Adapun dugaan pelanggarannya adalah Perpres Nomor 148 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Secara singkat, Perpres tersebut menerangkan adanya kewajiban pemerintah untuk melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Termasuk memberikan ganti rugi kepada warga yang terdampak. Pertanyaannya, bolehkah melanggar Perpres hanya karena demi kepentingan umum?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H