Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Sepucuk Surat dari Kompas: Tulisan Anda Terlalu Sumir

29 Juni 2017   00:45 Diperbarui: 29 Juni 2017   19:07 1413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BAIKLAH, dalam rangka memeriahkan ulangtahun ke-52 Harian Kompas, saya akan ikut membagikan kisah tentang bagaimana rasanya menerima sepucuk surat dari Harian Kompas. Kira-kira kejadiannya tahun 2004 silam alias 13 tahun lalu.

Sore itu saya merasa gugup, deg-degan saat mengetahui ada surat berlogo Kompas yang diantarkan ke alamat tinggal saya di Depok, Jawa Barat. Dalam hati, ini pasti balasan atas artikel yang memang saya kirimkan lewat surat elektronik, beberapa minggu sebelumnya. Yang menggelikan, saya merasa percaya diri bahwa isi surat tersebut merupakan pemberitahuan dari Kompas, bahwa artikel saya akan segera dimuat. Wow, bangga dong.

Sayang seribu sayang, surat itu ternyata pemberitahuan bahwa artikel yang saya kirimkan belum layak ditayangkan. "Tulisan Anda terlalu sumir", begitu kira-kira intisari surat balasan itu. Terus terang, saat itu saya belum pernah mendengar kata "sumir" yang tentu saja bukan kata plesetan dari "sumur". Dengan tergopoh-gopoh, saya membuka KBBI lantas menemukan jawabannya. Sumir ternyata bermakna terlalu dangkal, tidak mendalam, atau makna lain yang menerangkan bahwa artikel tersebut masih terlalu ringkas.

Sejak menerima surat itu, saya lantas berusaha memperbaiki artikel selanjutnya. Sebagai mahasiswa saat itu, tentu saja semangat menulis masih menggebu-gebu, bahkan cenderung merasa paling hebat sedunia. Hehehe. Namun lagi-lagi, surat balasan dari Kompas tetap bernada sama: terlalu sumir. Dan, saya pun menyerah, mengangkat bendera putih. "Jangan sampai tiga kali," batinku.

Belakangan, setelah berkecimpung di dunia jurnalistik, saya memahami Harian Kompas memang menjalankan prosedur ketat saat menyeleksi tulisan yang masuk ke redaksi. Seleksi ketat dilakukan lantaran jumlah artikel yang masuk ke redaksi setiap harinya dipastikan lebih dari hitungan jari. Sementara ruang untuk menerbitkan artikel sangat terbatas, maksimum empat artikel sekali terbit. Untuk itu dibutuhkan kehati-hatian dari para redaktur yang menggawangi desk opini. Maka ketika tulisan saya ditolak, tentu saja hal serupa dipastikan juga dialami puluhan orang yang mencoba keberuntungan serupa. Ditolak dengan hormat, lebih tepatnya.

Harian Kompas, sebagai referensi berita paling disegani di Tanah Air harus diakui telah menjalankan prinsip jurnalistik dengan sangat baik. Itu bisa dibaca melalui penyajian berita Kompas yang rata-rata tak menarik dari sisi judul. 

Bandingkan dengan harian lain yang kerap memampang judul berita dengan kalimat bombastis bahkan kerap tendensius. Dari sisi isu juga demikian. Isu yang diangkat Kompas, terutama Laporan Utama (halaman 1), dipastikan tidak akan menarik bagi masyarakat umum yang tidak banyak bersentuhan dengan kebijakan pemerintah. Misalnya, ibu rumah tangga, rasa-rasanya akan mengernyitkan dahi saat membaca laporan utama Kompas.

Membaca rubrik Opini, lagi-lagi pembaca awam akan dibuat pusing tujuh keliling. Selain isu yang diangkat dalam artikel opini tersebut, para penulisnya juga bukanlah orang sembarangan. Sangat sulit, bahkan menurut pengamatan saya, Kompas belum pernah memuat opini seorang mahasiswa yang disandingkan sekaligus dengan opini para ekonom, guru besar, praktisi, ataupun menteri. Di sinilah kembali saya memahami kenapa tulisan saya ditolak dengan hormat. Seandainya pun tulisan saya layak secara materi, tetapi tetap saja "kalah kelas" dengan penulis yang notabene mempunyai nama ataupun pengaruh di Tanah Air.

Pun begitu, saya tetap merasa bangga pernah diladeni Kompas dengan sangat baik dengan mengirimkan surat balasan atas artikel yang pernah saya kirim. Soal dimuat atau tidak, itu sepenuhnya merupakan hak redaksi. Yang pasti, dari surat balasan itu, saya akhirnya mengetahui makna kata "sumir".

Selamat Ulang Tahun ke-52, Harian Kompas. Tetaplah menjadi amanat hati nurani rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun