SIAPA sih yang mau dijemput, duduk manis, walau ongkosnya mahal? Sedikit, hanya kalangan berduit, sepertinya. Siapa sih yang pengen dijemput, duduk manis, tetapi ongkosnya murah? Banyak, bos...
Pertanyaan terakhir itulah yang telah dijawab transportasi berbasis online baik motor maupun mobil. Teknologi telah mengubah segalanya, dari yang rasanya mustahil menjadi sangat mungkin. Banyak yang bertanya, dari mana sih untungnya perusahaan transportasi online itu kalau ongkosnya jauh lebih murah ketimbang kendaraan umum? Khusus pertanyaan ini, biarkanlah para pakar teknologi untuk menjawabnya.
Namun yang jelas, teknologi secanggih apapun dipastikan tidak akan memiliki "rasa". Ya, hanya manusia yang empunya itu. Maka teknologi yang tidak memikat "rasa" penggunanya bakal sia-sia. Rasa menjadi penting sebab transportasi online berhubungan langsung dengan manusia sebagai pengemudi maupun pengguna/penumpangnya.
Ada kalanya pengemudi sedang mempunyai rasa buruk malah berdampak buruk pula pada penumpangnya. Sebaliknya, terkadang penumpang sedang dalam rasa hambar, juga sedikit banyak berpengaruh pada pengemudinya. Namun, sebagaimana berlaku umum, pembeli/penumpang adalah raja. Ketika penumpang sedang tidak hilang rasa, pengemudi harus dengan lapang dada menerimanya. Bukan malah memperlakukan penumpang dengan "rasa" yang sama pula. Di pihak lain, jika pengemudi kehilangan rasa, sebaiknya jangan menularkan rasa tersebut kepada penumpang.
Sehingga, apabila "rasa" dalam transportasi online saat ini mulai terasa hambar, sesungguhnya itu hanyalah sebuah seleksi alam. Di semua sendi kehidupan, seleksi alam memang terjadi. Lihatlah, pembentukan sebuah organisasi baru biasanya akan diikuti banyak orang, kemudian perlahan hilang satu per satu. Secara alami, seleksi sudah terjadi di sana dengan berbagai macam alasan dan latar belakang.
Begitupun dengan transportasi online saat ini. Lihatlah, transportasi motor maupun mobil berbasis online telah mengubah jalan hidup pengemudi maupun gaya hidup para penumpangnya. Bagi pengemudi alias driver, kehadiran moda transportasi berbasis online tersebut kita tahu cukup menghebohkan.
Bahkan di awal peluncuran motor online, media massa banyak memberitakan tentang kisah seseorang yang mendadak berganti profesi menjadi supir kendaraan online. Cerita tersebut kemudian berlanjut pada mobil online, ketika pengemudi ramai-ramai mendaftarkan diri sebagai mitra kendaraan online. Jalan hidup mereka pun seketika berganti haluan, fokus menjadi bos bagi dirinya sendiri.
Di saat yang sama, penumpang pun demikian. Yang sebelumnya hanya mengandalkan tukang ojek pangkalan alias Opang, secara massal kemudian berpindah ke online. Hebatnya lagi, penumpang yang tadinya langganan bis kota atau angkot, kini naik kelas dengan menumpang mobil online. Mau jalan ke mal, tinggal pencet aplikasi di ponsel, pesanan mobil pun tiba di depan rumah. Pulang dari mal, juga sama. Irit biaya gengsi pun dapat.
Revolusi kendaraan online memang cukup menggemparkan jagad nasional khususnya di kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya. Maka tidak heran, pada awal booming, moda transportasi baru ini banyak mendapat penolakan dari kendaraan umum konvensional baik motor maupun angkot. Lapak abang tukang ojek pangkalan dan supir angkot dilalap habis oleh kendaraan online. Gesekan antara online dan konvensional ini pun perlahan mereda dengan berbagai kesepakatan di antara keduanya. Di sini tahap pertama seleksi alam dimulai. Yang kuat bertahan, yang kalah akan tergeser.
Sayangnya, persoalan ternyata belum usai. Setelah friksi antara konvensional dan online mereda, muncul masalah baru yang justru timbul dari sebagian kecil pengemudi online. Meski oknum "nakal" itu berjumlah sedikit, lambat-laun bisa menjadi batu sandungan bagi seluruh pengemudi online. Lihatlah di kasus-kasus terbaru tentang pengemudi yang memperlakukan penumpangnya dengan tidak sopan. Itulah seleksi alam tahap kedua.
Lantas, apa seleksi alam tahap ketiga? Mari kita kembali pada kisah keperkasaan raksasa teknologi seperti Friendster dan terakhir kabar buruk dari Yahoo. Tidak ada yang menduga kedua raksasa teknologi tersebut akan tumbang. Faktanya, keduanya harus rela melepaskan kedigdayaannya kepada pesaingnya seperti Facebook dan Google. Kasus ini setidaknya memberikan gambaran bahwa segalanya sangat mungkin bagi teknologi. Mungkin, dalam beberapa tahun ke depan, pesaing Facebook atau Google akan muncul dan berpotensi bertengger di level paling atas. Siapa yang tahu?