Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lonceng HKBP

1 Juni 2017   18:46 Diperbarui: 1 Juni 2017   19:29 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
HKBP Resort Parsoburan (Pribadi)

UCOK mendadak berhenti saat kupingnya menangkap suara lonceng. Ia tahu, itu suara lonceng gereja. Dalam hati, ia menghitung dentingan lonceng yang kadang terdengar sayup. Hatinya sedikit tenang, sebab dentingan lonceng berlangsung cukup lama. “Ah natua-tua do hape (berarti sudah orang tua),” batinnya. Kecuali hari Minggu, mendengar suara lonceng gereja memang ngeri-ngeri sedap. Hampir dipastikan, itu suara lonceng pertanda duka, sebagai pengumuman bahwa salah satu jemaat telah menghadap Yang Kuasa. Rumusnya sederhana. Bila dentingan lonceng hanya berlangsung beberapa kali, menandakan jemaat yang meninggal dunia masih berusia muda. Demikian seterusnya, semakin lama lonceng berbunyi, maka yang menghadap Yang Kuasa sudah tergolong berumur tua.

Di kampung Ucok, lonceng gereja yang dalam bahasa Batak disebut giring-giring masih terdengar nyaring hingga saat ini. Lonceng gereja HKBP terutama. Organisasi keagamaan terbesar se-Asia Tenggara setelah NU dan Muhammadiyah, ini memang paling banyak jemaatnya di antara gereja denominasi lainnya, seperti GKPI dan HKI, dua gereja sempalan HKBP. Sisanya Katolik, sebagai gereja tertua di dunia. Sebagian kecil lagi bergabung ke gereja-gereja yang lahir belakangan. Lalu yang paling sedikit adalah Muslim, kurang dari 10 Kepala Keluarga.

Dalam suasana Natal, lonceng HKBP sudah pasti makin rajin berdentang. “Teng-teng-teng-teng…..” begitu kira-kira bunyinya saat Sintua (Penatua) gereja menganyunkan bandul lonceng, pertanda kebaktian segera dimulai. Lonceng peninggalan Jerman itu dipasang di sebelah atas pintu masuk gereja, sekira lima meter di atas kepala. Sekolah SD hingga SMA adalah pelanggan setia gedung HKBP untuk menggelar ritual Natal. Itu di luar pemain inti seperti Sekolah Minggu, Parari Kamis, Gabungan Koor, dan lainnya.

****

Ucok sudah memasuki minggu kedua menghafal doa. Celaka duabelas, doa yang dihafalkan masih itu-itu saja. Yang paling laris tentu saja doa sebelum makan. Bila sudah kenyang, lazimnya lupa berdoa mengucap terimakasih. “Ale Tuhan pasu-pasu ma sipanganon on asa parohon gogo naimbaru tu dagingnami (Berkatilah makanan ini agar menjadi kekuatan baru bagi kami).” Doa itu sudah turun-temurun sejak Nommensen sang pendiri HKBP menjelajah Tanah Batak, lebih dari satu setengah abad yang lalu.

Ia berusaha merangkai kata demi kata dalam hati, disesuaikan dengan suasana Natal dan Tahun Baru. Pusing tujuh keliling, sebab doa yang dihafalkannya sangat pendek. Tak sampai satu menit sudah Amen (Amin). Mau cari buku doa, tidak ada. Mbah Google pun belum lahir zaman itu. “Kacau ini bah,” gerutu Ucok.

Apa mau dikata, di sekolah minggu HKBP tempat Ucok berkesempatan membeli baju baru, entah kenapa tidak ada pelajaran khusus tentang cara berdoa. Mungkin karena guru sekolah minggu masih berstatus “transfer” alias “cabutan”, sebuah tugas yang biasanya dirangkap oleh Sintua. Tak ada training berdoa saat bangun tidur, sebelum belajar, pulang sekolah, sebelum tidur, dan momen-momen lainnya.

“Teng…teng…teng….” lonceng HKBP menderu-deru. Hampir sepuluh menit lamanya. Seorang Sintua bertugas menarik bandul lonceng tepat pukul 00:00, yang sekaligus menjadi sinyal boleh dimulainya kebaktian syukur di masing-masing keluarga. Itu berarti pergantian tahun telah resmi dikumandangkan oleh gereja. Lagu-lagu wajib Tahun Baru bersahut-sahutan antar tetangga. Tentu tak ada yang vocal solo, minimal duet.

Tibalah pengujung kebaktian yang tergolong singkat itu. Ucok mulai keringat dingin. Sesuai tradisi, masing-masing anggota keluarga diwajibkan memimpin doa, sebuah doa ungkapan syukur telah melewati tahun lama dan kini berganti tahun baru. Ucok kelimpungan, tak tahu harus berdoa seperti apa. Yang ia hafal betul ya itu tadi, doa sebelum makan.

“Ucok, giliranmu,” seru Ayah Ucok sembari menyeruput susu cap Nona yang diaduk bercampur gula putih. Susu itu memang sengaja dicampur gula agar tak cepat habis tetapi tetap terasa nikmat. Satu kaleng kecil susu harus dicukup-cukupkan untuk dinikmati seluruh anggota keluarga. Indahnya berbagi.

Bukan Ucok namanya kalau bukan pemberani.

“Martangiang ma hita (Mari kita berdoa),” Ucok memulai.

“Ale Tuhan pasu-pasu ma sipanganon on asa parohon gogo naimbaru tu dagingnami (Berkatilah makanan ini agar menjadi kekuatan baru bagi kami).” Amen!

Ucok lupa ini tahun baru.

****

Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Ucok merantau di tanah orang. Kehidupan yang teramat jauh berbeda ketimbang kampung halamannya. Denting suara lonceng gereja di kota hampir tak pernah terdengar, tentu karena situasi sosial yang membuat begitu. Di gereja pun, tak semua jemaat saling mengenal, ada yang hanya tahu muka tetapi tak tahu nama. Hanya beberapa saja yang akhirnya menjadi akrab, mungkin lantaran masih ada pertalian keluarga ataupun teman sekampung.

Ucok rindu kampung halaman, lalu memutuskan untuk mudik walau seminggu duaminggu saja. Lazimnya, seorang perantau yang sedang mudik, selalu rajin ke gereja. Begitupun Ucok, yang ketika hari Minggu tiba, tampak semangat menuju gereja HKBP. Kebiasaannya masih seperti dulu, duduk di bagian paling belakang. “Biar lebih tenang,” Ucok berkelit dalam hati kecilnya.

Kebaktian Minggu pagi itu pun dimulai. Namun, Ucok mendadak galau tak menentu. Ia menyaksikan betapa lagu-lagu gereja kini telah ditampilan di layar proyektor. Musik pengiringnya pun berubah menjadi modern, menggunakan “music box”, keyboard yang telah merekam nada-nada lagu gereja. Ada pula tampil dua orang “singer” yang memandu jemaat saat menyanyikan lagu-lagu pujian.

“Tiada lagi nilai magis dari gereja ini,” begitu batin Ucok walau tetap berusaha mengikuti kebaktian. Dulu, ia masih menyaksikan jemaat bernyanyi bersama hanya dengan dipandu seorang Sintua. Tak ada “Singer” apalagi tampilan proyektor.

Sebuah piano yang akrab disebut “Orgen” dengan cantik dimainkan seorang pianis yang teramat legendaris. Di jemari tangannya, suara orgen terasa menusuk ke sanubari. Mendayu-dayu dan penuh kelembutan.

 Ucok pulang dari gereja dalam kehampaan. “Nilai magisnya telah hilang,” ia mengulanginya.

“Teng..teng…teng….” lonceng HKBP berbunyi di sore Ucok menjelang kembali ke tanah rantau. Tetapi suara lonceng yang terbilang singkat itu seperti dianggap biasa saja oleh warga. Ucok makin galau. Padahal, dulu, suara lonceng HKBP yang hanya sebentar itu pasti memacu degup jantung. Kini tak lagi.

Ucok kembali ke tanah rantau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun