Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lonceng HKBP

1 Juni 2017   18:46 Diperbarui: 1 Juni 2017   19:29 1471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Martangiang ma hita (Mari kita berdoa),” Ucok memulai.

“Ale Tuhan pasu-pasu ma sipanganon on asa parohon gogo naimbaru tu dagingnami (Berkatilah makanan ini agar menjadi kekuatan baru bagi kami).” Amen!

Ucok lupa ini tahun baru.

****

Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Ucok merantau di tanah orang. Kehidupan yang teramat jauh berbeda ketimbang kampung halamannya. Denting suara lonceng gereja di kota hampir tak pernah terdengar, tentu karena situasi sosial yang membuat begitu. Di gereja pun, tak semua jemaat saling mengenal, ada yang hanya tahu muka tetapi tak tahu nama. Hanya beberapa saja yang akhirnya menjadi akrab, mungkin lantaran masih ada pertalian keluarga ataupun teman sekampung.

Ucok rindu kampung halaman, lalu memutuskan untuk mudik walau seminggu duaminggu saja. Lazimnya, seorang perantau yang sedang mudik, selalu rajin ke gereja. Begitupun Ucok, yang ketika hari Minggu tiba, tampak semangat menuju gereja HKBP. Kebiasaannya masih seperti dulu, duduk di bagian paling belakang. “Biar lebih tenang,” Ucok berkelit dalam hati kecilnya.

Kebaktian Minggu pagi itu pun dimulai. Namun, Ucok mendadak galau tak menentu. Ia menyaksikan betapa lagu-lagu gereja kini telah ditampilan di layar proyektor. Musik pengiringnya pun berubah menjadi modern, menggunakan “music box”, keyboard yang telah merekam nada-nada lagu gereja. Ada pula tampil dua orang “singer” yang memandu jemaat saat menyanyikan lagu-lagu pujian.

“Tiada lagi nilai magis dari gereja ini,” begitu batin Ucok walau tetap berusaha mengikuti kebaktian. Dulu, ia masih menyaksikan jemaat bernyanyi bersama hanya dengan dipandu seorang Sintua. Tak ada “Singer” apalagi tampilan proyektor.

Sebuah piano yang akrab disebut “Orgen” dengan cantik dimainkan seorang pianis yang teramat legendaris. Di jemari tangannya, suara orgen terasa menusuk ke sanubari. Mendayu-dayu dan penuh kelembutan.

 Ucok pulang dari gereja dalam kehampaan. “Nilai magisnya telah hilang,” ia mengulanginya.

“Teng..teng…teng….” lonceng HKBP berbunyi di sore Ucok menjelang kembali ke tanah rantau. Tetapi suara lonceng yang terbilang singkat itu seperti dianggap biasa saja oleh warga. Ucok makin galau. Padahal, dulu, suara lonceng HKBP yang hanya sebentar itu pasti memacu degup jantung. Kini tak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun