Mohon tunggu...
Ishak Pardosi
Ishak Pardosi Mohon Tunggu... Editor - Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Spesialis nulis biografi, rilis pers, buku, dan media monitoring (Mobile: 0813 8637 6699)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hilangnya Roh Karya Sastra Kita

6 Mei 2017   21:43 Diperbarui: 6 Mei 2017   21:54 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SASTRA adalah anak pertama dari ilmu filsafat. Sementara filsafat adalah ibu kandung dari semua ilmu. Itulah yang sering kita jumpai apabila sedang mempelajari ilmu sastra. Filsafat dan sastra adalah dua kajian ilmu yang saling berkaitan satu sama lain. Belajar filsafat ibarat belajar sastra, demikian sebaliknya. Paling tidak, begitulah pemahaman saya yang pernah mempelajari ilmu sastra selama lima tahun di sebuah kampus swasta di Jakarta.

Eratnya kaitan filsafat-sastra tercermin dari sejumlah karya sastra yang hingga kini masih dikagumi pegiat sastra. Ambil contoh, Shakespeare yang tersohor itu. Karya-karyanya banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran yang muncul pada zamannya, seperti tentang kebebasan. Bumbu-bumbu sastra yang diciptakannya merupakan cerminan dari kejadian sosial pada masanya. Maka tak heran memang apabila sebuah karya sastra selalu mencerminkan zamannya. Sepanjang pengetahuan saya, karya sastra yang sifatnya menjangkau ke masa depan, seperti lakon maupun kejadian bergenre fiksi dalam film “Star Wars” misalnya, baru bermunculan ketika era teknologi mulai menggeliat di abad ke-20.

Karya sastra yang paling banyak lahir, sesuai dengan zamannya, adalah tentang pentingnya kebebasan, baik kebebasan jasmani maupun jiwa. Di Indonesia, ada Chairil Anwar Cs, yang mengukir karya sastra di zaman penjajahan Belanda. Temanya seragam, yakni menginginkan adanya kemerdekaan. Meskipun memang, tak semua karya sastra selalu bertema pemberontakan. Ada juga karya sastra yang murni bercerita tentang kehidupan, asmara, bahkan kehidupan setelah kematian. Yang jelas, hasil karya sastra selalu dilahirkan oleh sebuah proses perenungan mendalam dan melelahkan.

Di era serba cepat masa kini, kira-kira bagaimana nasib sastra? Itulah pertanyaan kritis yang perlu direnungkan para pegiat sastra. Sebab, tidak ada lagi batas waktu dan jarak saat ini. Dalam sekejap saja, semua terhubung oleh canggihnya teknologi. Bandingkan dengan zaman dulu, yang membutuhkan waktu berhari-hari, berbulan, bahkan tahunan, untuk menjangkau satu tujuan. Sepucuk surat yang dikirimkan seorang filsuf dari Yunani, misalnya, mungkin saja baru tiba di Roma, sebulan berikutnya. Demikian seterusnya hingga menyebar ke seluruh Eropa, lalu hinggap ke Indonesia.

Kecanggihan teknologi telah mengubah perilaku manusia yang sebelumnya setia dengan menunggu waktu berlama-lama menjadi insan yang serba instan. Namun, serba cepat itu juga menjauhkan manusia dari kegiatan merenung. Padahal, sastra sangat identik dengan perenungan. Dengan merenung, layaknya seorang filsuf, manusia akan lebih mampu memahami sekaligus menggali makna sebuah peristiwa dari berbagai sudut pandang. Di sinilah seni dari sebuah ilmu sastra. Ia adalah proses perenungan panjang yang membutuhkan banyak energi. Perenungan itulah yang sesungguhnya menjadi roh sebuah karya sastra.

Maka tak heran apabila seseorang yang memilih jurusan sastra di universitas kerap merasa keliru memilih jurusan ketika kuliah mulai berjalan. Sebut saja jurusan Sastra Indonesia atau Sastra Inggris. Banyak yang mengira belajar sastra itu hanya sekadar menyusun kalimat yang baik dan benar. Ataupun hanya sebatas mempelajari makna yang terkandung dalam sebuah kalimat. Untuk Sastra Inggris, banyak yang menduga kegiatan kuliah hanya akan diisi dengan mata kuliah grammar atau speaking. Harapannya, bila kelak lulus nanti, ia akan mampu cas-cis-cus berbahasa Inggris, misalnya. Tentu saja itu keliru besar.

Kesimpulannya, tantangan dunia sastra belakangan ini semakin nyata di tengah kemajuan teknologi yang melanda manusia. Sastra yang lahir masa kini didominasi karya yang rasanya tidak lagi mendalam, bahkan dilahirkan secara prematur. Proses perenungannya mungkin hanya seminggu dua minggu, atau mungkin saja dikebut dalam semalam suntuk belaka. Tujuannya jelas, karya sastra tersebut, seperti apapun kualitasnya, wajib diproduksi lebih cepat demi mengimbangi lajunya arus informasi. Ibarat kata pepatah, siapa cepat dia dapat. Sastra pun berpindah dari alam pikiran yang mendalam ke jemari yang menari-nari di layar ponsel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun