Dua istilah tersebut di atas baru aku kenal yang mulanya aku pahami sebagai "berhenti diam-diam" (Quiet Quitting = QQ)) dan "diberhentikan diam-diam" (Quiet Firing = QF). Ternyata menurut Kompas artinya berbeda: QQ adalah bekerja seadanya (sekadar menyesuaikan dengan kompensasi yang diterima) dan QF adalah "mendiamkan" karyawan yang bekerja seadanya tersebut tanpa dilibatkan pekerjaan penting dan "bebas dari promosi".
Aku punya pengalaman yang rada mirip dengan kedua istilah tersebut.Â
Kisah nyata ketika masih menjadi pemimpin wilayah di salah satu kota besar di perusahaan multi nasional produk konsumen (multi national fast moving consumer goods). Perusahaan asing yang sangat besar dan sangat terkenal sehingga menjadi idaman bagi banyak orang untuk menjadi pekerjanya.
Babak Pertama: Titip si "Anak Nakal"
"Bang, aku titip kawan kita si A ini. Dia 'nggak performed dan ada kasus pribadi sehingga kita turunkan pangkatnya. Terserah sama abang mau diapain, yang penting dia ada kerjaan setiap hari dan jangan bikin ulah. Manajemen percaya abang bisa mengendalikan orang ini", demikian kata atasan langsungku suatu hari. Memuji sambil memberi penugasan khusus, gaya kepemimpinan yang sudah aku pahami.
"Kenapa 'nggak diminta berhenti aja, pak?", tanyaku polos.
"Dia 'nggak mau mengundurkan diri. Abang 'kan tahu 'gimana perusahaan. 'Nggak mudah memecat orang, akan banyak implikasi yang harus dihindari".
"Sampai kapan, pak?", tanyaku lebih polos karena sudah tahu track record kawan yang perlu dibina tersebut.
"Terserah abang sampai kapan dia tahan dan kemudian berhenti. Lebih cepat lebih baik", kata si boss dengan kalimat pemutusnya. Â Â
Babak Kedua: Mau Apa Sekarang?
Minggu depannya, si "anak nakal" datang.
"Ma'af pak, baru hari ini saya bisa datang melapor perpindahan saya. Bapak tentu sudah tahu. Terserah pada bapak saja yang penting saya masih tetap bisa bekerja. Saya sudah 'nggak punya harapan di perusahaan, pak", demikian "salam perkenalan" yang disampaikannya.
Lalu aku beri kesempatan dia untuk menceritakan kisahnya. Pengakuan, rasa bersalah, dan penyesalan menjadi satu. Hopeless, semua mengarah pada sikapnya sebagai QQ.
Pesan yang aku tangkap dari pembicaraan dengan si bos, sikap Perusahaan adalah dalam posisi QF. Tidak diberikan pekerjaan penting dan tidak akan mempromosikannya sampai 'nggak kuat bertahan sehingga mengundurkan diri.
Selaku pemimpin untuk wilayah yang diberikan kepercayaan padaku, maka aku juga bertanggung jawab terhadap profit and loss bisnis di wilayah tersebut. Selain mencapai target penjualan, juga memastikan produktivitas semua orang yang aku pimpin seoptimal mungkin.
Oleh sebab itu, sang anak nakal aku panggil dan ajak 'ngobrol "pahit-pahit". "Jangan terbebani berlebihan oleh kesalahan masa lalu. Aku berikan kesempatan padamu. Aku akan memperlakukanmu sesuai posisi, bukan jabatanmu. Aku tahu kamu punya potensi, namun semunya kembali padamu. Mau ambil kesempatan berharga ini, atau menunggu kuat-kuatan dengan Perusahaan, yang entah sampai kapan".
Aku tahu, banyak karyawan yang dalam posisi tidak punya motivasi lagi ini akhirnya bekerja seadanya. Sekadar datang dan pulang sesuai jam kerja, dan tidak melakukan yang "aneh-aneh" sehingga akhirnya benar-benar dipecat.
Babak Ketiga: Motivasi Perbaiki Diri
Secara resmi - hasil rembugan Sales Management dan Human Resources - dia dikasih pekerjaan "ecek-ecek", yang 'nggak butuh kemampuan maksimalnya (sepertinya ini strategi untuk membuat dirinya demotivated, useless, dan feel downgraded) dan 'nggak berpengaruh banyak terhadap bisnis. Karena itu di bawah kapasitasnya, tentu secara teknis dia mudah menyelesaikannya. Â
"Kerjakan dulu apa tuntutan Perusahaan, dan aku tahu itu sangat mudah bagimu. Selanjutnya kembangkan diri dengan kemampuan dan kemauan yang engkau miliki di waktu senggang. Perbaiki diri dengan menunjukkan prestasi. Manfaatkan setiap kesempatan!", wejangan yang aku sampaikan dengan tegas untuk menyemangatinya. Membangkitkan motivasi, itu yang pertama dan utama.
Selama "masa pengampunan" itu, dimanfaatkannya untuk belajar pengetahuan mengolah data dan statistik (yang dikenal saat ini dengan Data Analytics) yang kemudian memang sangat dibutuhkan di dunia penjualan.
Aku 'nggak pernah memperlakukan dia sebagai orang hukuman. Kondisi yang sama aku mintakan kepada semua anggota timku dalam menyikapinya. "Tak semua orang selalu bisa bebas dari kesalahan. Patut kita berikan kesempatan bagi orang yang masih punya pengharapan", begitu yang aku sampaikan kepada anak buahku sambil tetap memantau perkembangannya dari waktu ke waktu.
Alhamdulillah ... haleluya! Situasi kemudian berubah. Dengan motivasi yang kembali muncul, si "anak nakal" kemudian bangkit dan mengukir prestasi sehingga berangsur-angsur Manajemen meninjau-ulang statusnya.
Babak Akhir: Upah yang Aku Terima
Setelah mengembalikan kepercayaan, dia pun dikembalikan ke posisinya semula. Lalu berangsur karirnya meningkat.
Suatu hari dalam informal meeting pada suatu rapat tahunan ketika sesi "thank you and respect" yang mana instruktur meminta masing-masing orang menyebutkan siapa dan kenapa patut menerima ungkapan terima kasih di Perusahaan, dia si "anak nakal" berdiri dan menyebut namaku seraya mendatangi dan merangkulku sambil bersaksi tentang bagaimana dia berhasil keluar dari keterpurukan dan bangkit hingga meraih posisi yang tinggi sekarang.
Setelah aku pensiun dan dia memegang jabatan tertinggi di berbagai wilayah, selalu menawarkan tumpangan dan fasilitas jika tahu aku sedang berada di wilayah tanggung jawabnya. Sesuai dengan level jabatan yang diembannya, tentunya.
Kebaikan hati yang selalu 'kutolak dengan tegas karena merasa (memang) 'nggak pantas untuk menikmatinya ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H