Mohon tunggu...
Pardosa Godang
Pardosa Godang Mohon Tunggu... Dosen - Pelayan, pengajar dan pembelajar

Haus belajar, harus terus sampai aus ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Pasien Menjelang Meninggal Dunia

23 Juni 2022   11:12 Diperbarui: 23 Juni 2022   11:44 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin sore sebelum meninggalkan kantor aku dapat info bahwa pasien yang seminggu lalu menerima sakramen perjaman kudus dinyatakan meninggal dunia. Aku terkejut! Tak menyangka sebegitu cepat pergi mengingat betapa semangatnya ketika bertemu di hari pelayanan sakramen di rumah sakit tersebut. 

Bahkan beliau -- sekarang almarhum -- berjanji untuk bertemu dan bareng menikmati kebersamaan setelah pulih kelak. "Saya akan terus berjuang melawan sakit ini sampai sembuh. Doakan saya terus, pak!", begitulah yang disampaikan berulang-ulang dengan beberapa kali saling tos telapak tangan seakan mengukuhkan semangat tersebut.

Sampai di rumah duka, aku dapat kabar bahwa sang pasien meninggal di rumah beberapa jam sebelumnya. Info dari keluarga menyebutkan bahwa malam di hari menerima sakramen beliau uring-uringan mendesak untuk dibawa pulang saja ke rumah. 'Nggak mau lagi dirawat di rumah sakit. Konon, berdasarkan banyak pengalaman, ini pertanda pasien seakan tahu sudah saatnya untuk pulang.

Kejadian tersebut mengingatkanku pada saat menjelang meninggalkan rumah sakit usai melayankan sakramen kepada pasien tersebut. Anggota keluarga yang mengantarkan kami sampai depan pintu kamar perawatan berbisik tentang sikap pesimisnya bagi kesembuhan dari penyakit yang diidap orangtua tersebut. Sangat bertentangan dengan sikap optimisme sang pasien!

Hal yang mengingatkanku kembali kepada almarhumah ibu dengan perlakuan kami menjelang meninggal dunia.

Pasien Punya Sixth Sense?

Percaya tidak percaya, apa yang diucapkan bahkan perasaan orang-orang yang merawat di sekitarnya, pasien seringkali mengetahui. Bahkan dalam keadaan setengah sadar. Apalagi kalau orang-orang tersebut adalah keluarga yang sangat dekat dengan pasien, utamanya secara emosional.

Sepintar-pintarnya menyembunyikan, misalnya dengan mengucapkan bahwa pasien pasti sembuh dan keluarga tetap mengupayakan pengobatan terbaik (padahal bukan demikian yang sebenarnya), tetap saja yang "didengar" pasien tersebut adalah suasana hati. Jadi, berhati-hatilah ketika merawat keluarga yang sedang sakit serius.

Bahkan bagi kami yang sering mendoakan pasien yang kami kunjungi, sering harus mengingatkan diri sendiri untuk lebih sering mengandalkan Tuhan sebagai beyond our logical thinking. Pasien biasanya akan lebih sensitif, utamanya menyangkut kesembuhannya.

Nyawa di Tangan Tuhan
Betul, hidup dan mati setiap orang adalah di tangan Tuhan, sang pemberi kehidupan. Demikian juga dengan kesembuhan. Kita diminta menyerahkan segala sesuatunya ke tangan-Nya, namun seiring segala upaya tetap maksimal dilakukan.

Tidak ada kepastian, segala fasiitas dan pengobatan terbaik pun bukanlah jaminan kesembuhan seorang pasien. Tapi menerima kenyataan bahwa orang-orang yang dikasihi dipanggil pulang setelah kita melakukan segala hal yang terbaik, paling tidak, tetap meninggalkan kepuasan.

Tetaplah semangat jadi perawat. Perawat kehidupan, dan perawat kenangan indah tentang kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun