Belakangan hari ini aku dilanda "pertentangan batin". Sepele, yaitu biaya jalan tol setiap melintasi jalan raya Bekasi menuju Jakarta. Masih ingat betapa macetnya jalanan di Bekasi sehingga pernah dijuluki Bekasi sebagai planet lain, 'kan?
Sejak akhir tahun lalu sudah ada jalan tol yang menyambungkannya ke Jakarta, namun kemacetan seakan tidak rela berpisah dari jalanan yang didominasi sepeda motor yang dikombinasi dengan truk dan kontainer bermuatan macam-macam itu. Kalau mau 'ngantor ke Kelapa Gading ada dua pilihan rute yang harus aku tentukan ketika berada di depan Lulu Supermarket, itulah yang menciptakan "pertentangan batin".
Pertama, memutar balik lalu belok ke kiri menelusuri jalan umum sepanjang Komplek Jakarta Garden City, Aeon Mall Cakung, lalu belok ke kanan dan masuk gerbang tol Cakung 2. Bayar Rp 16.000,-. Tak sampai dua kilometer sudah harus keluar -- dan hanya ditempuh kurang dari lima menit -- lalu bersambung dengan masuk tol Kelapa Gading. Bayar Rp 19.000,-. Lima belas menit kemudian sudah sampai di kantor.
Kedua, menelusuri jalan raya Bekasi sampai di depan gerbang tol Cakung untuk masuk ke gerbang tol Kelapa Gading yang berbayar Rp 19.000. Lima belas menit kemudian sudah sampai di kantor. Hemat Rp 16.000,- alias setara 45%.
Secara logika, tentu saja pilih rute kedua, ya? Hemat pengeluaran, 'kan?
Tapi, kalau mempertimbangkan faktor lain, keputusan bisa berbeda. Rute kedua membutuhkan waktu lebih banyak. Meskipun jaraknya lebih pendek, tapi macetnya yang luar biasa membutuhkan waktu tempuh lebih lama 27 menit, berarti bertambahnya biaya bahan bakar. Juga, resiko keserempet. Mobilku sudah tiga kali mengalaminya. Mau marah, apa daya, kata orang itulah resiko berkendaraan. Kalau bukan menabrak, bisa kita yang ditabrak ...
Begitu juga dalam dunia pekerjaan. Tidak semata-mata nominal yang dijadikan dasar pengambilan keputusan, melainkan ada faktor "non intrinsik" yang juga patut dipertimbangkan. Sayangnya, kita lebih terpukau pada mengkilapnya angka-angka kinerja sehingga cenderung melupakan prosesnya. Salah mempromosikan seseorang hanya dengan melihat pencapaian target tertinggi tanpa melihat lebih jauh proses yang melatarbelakanginya. Dulu, kami pernah mengalaminya, bagaimana dengan Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H