Senin sore kemarin mendadak aku diajak nonton oleh kakak perempuanku bersama suaminya. Judulnya 'Ngeri-ngeri Sedap (NNS). Menilik judulnya aku segera menduga ini film komedi, cocoklah untuk mengompensasi keletihanku usai virtual meeting berjam-jam dengan Filipina untuk product launching. Bioskopnya juga sangat dekat dengan tempatku berkantor hari itu.Â
Ketika mulai penayangan, barulah aku tahu itu tentang keluarga Batak yang tinggal di kampung halaman (setelah melihat betapa indahnya Danau Toba di layar bioskop yang memang sangat lebar). Kloplah!
NNS bercerita tentang Marlina yang diperankan Tika Panggabean dan lebih dikenal sebagai "Mamak Domu" layaknya panggilan seorang ibu Batak yang merasa gelisah karena keempat anaknya, Domu (diperankan Boris Bokir) si sulung pegawai BUMN tinggal di Bandung dan sudah punya pacar perempuan Sunda, Sarma (diperankan Gita Bhebhita) anak perempuan satu-satunya dan bekerja sebagai ASN dan tinggal bersama keluarga tersebut,Â
Gabe (diperankan Lolox) sarjana hukum yang diharapkan jadi jaksa atau hakim namun akhirnya menjadi pelawak di Jakarta, dan Sahat (diperankan Indra Jegel) sebagai si bungsu yang sarjana pertanian,Â
lebih memilih tinggal bersama orang lain di Jogja daripada memenuhi panggilan tradisi untuk tinggal di kampung bersama orangtuanya, semakin jarang mengunjunginya di kampung halaman.
 Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengatur sebuah pertengkaran hebat dengan sang suami, Pak Domu (diperankan Arswendy Beningswara) yang benar-benar mewakili laki-laki dewasa Batak dalam memimpin keluarga, supaya anak-anaknya segera pulang dari perantauan.
Setelah mendengar informasi tersebut, keempat anaknya memutuskan untuk pulang dari perantauan. Ketika tiba di kampung, mereka terkejut karena mengetahui bahwa pertengkaran yang dimaksud hanyalah kebohongan belaka.
Setengan perjalanan NNS sangat menghibur penonton karena dipenuhi dengan akting yang menimbulkan tawa (apalagi ditonton oleh orang sepertiku: manusia Batak generasi baby boomer yang dibesarkan dengan tradisi Batak yang kental dengan kekristenan),Â
namun ketika plot sampai pada konflik suasana berubah menjadi sedih dan menguras air mata. Hal yang mengingatkanku pada Keluarga Cemara, dan Toba Dream (yang juga bercerita tentang keluarga Batak yang mirip dengan NNS ini) yang otomatis membuatku khawatir, jangan-jangan plot seperti menjadi suatu fatsun film nasional supaya menarik untuk ditonton ...
Selain menghibur, aku perlu memberi catatan setelah menonton film NNS ini yang menurutku tidak pas dengan keluarga Batak pada umumnya (apalagi kalau kepala keluarganya adalah laki-laki Batak sepertiku ini yang memang tidak jauh beda dengan Pak Domu dalam NNS tersebut):
- Ketidakpatuhan anak-anak kepada orangtua, salah satu di antarnya ada pada dialog Domu dengan bapaknya: "Untuk perkawinan biar aku aja pak yang menentukan. Bapak 'nggak usah ikut-ikut mengatur!". Bagi orangtua Batak, mengawinkan anak adalah tanggung jawab mutlak yang berarti juga hampir semua hal ditentukan olehnya. Anak yang belum menikah dianggap belum manusia seutuhnya yang ditunjukkan di antaranya oleh belum dilibatkan dalam upacara adat karena belum punya kedudukan sebagai salah satu unsur dalam konsepsi dalihan na tolu.
- Sikap perlawanan isteri kepada suami, yang ditunjukkan secara lugas oleh Mak Domu kepada Pak Domu ketika musyawarah keluarga yang segera saja diikuti oleh semua anak-anaknya, bahkan oleh Sarma satu-satunya anak perempuan yang selama ini tinggal dan patuh di rumah (jabu parsaktian). Bagi orang Batak, kepatuhan pada orangtua dan suami adalah suatu kemutlakan, bahkan walaupun seringkali tidak sesuai dengan keinginan individual.
- Sikap berdoa yang tidak khidmat, dengan lafas doa sebelum makan yang disampaikan Gabe, sang pelawak yang mengesankan sedang melawak dengan kalimat doa "ala milenial" bukanlah tradisi Batak yang sangat menjunjung tinggi rasa hormat kepada Tuhan. Sepanjang film ini tidak ada menunjukkan betapa anak-anak adalah orang-orang yang menjalani kehidupannya "dekat dengan Tuhan walau rumah tempat mereka dibesarkan sangat dekat dengan gereja". Menurutku, ketidakdekatan dengan kehidupan bergereja itu, juga menjadi salah satu faktor sehingga dalam perjalanan hidup mereka kemudian sikap patuh pada orangtua (yang jelas-jelas ditekankan dalam Alkitab), campur tangan Tuhan dalam segala aspek kehidupan (termasuk perjodohan) menjadi sumber konflik dalam NNS ini. Sikap yang sangat berbeda yang ditunjukkan orangtua mereka yang respek kepada pak pendeta, walau terpaksa harus berpura-pura.