Pada tahun 1986, sebagai bagian dari program orientasi mahasiswa baru yang saat itu bernama Ordik sebagai singkatan dari orientasi pendidikan -- sempat dikenal dengan plonco, mosma, mapram, dan berbagai sebutan lokal kampus lainnya -- aku termasuk salah seorang yang diwajibkan ikut penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila alias P4. Materi yang dipelajari dapatlah dikategorikan sebagai sesuatu yang serius (tanpa sertifikatnya dijamin 'nggak bakalan diperbolehkan melanjutkan proses diterima sebagai mahasiswa dimaksud ...) dan berat, yakni tentang Butir-butir Pengamalan Pancasila, Wawasan Nusantara, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Ketetapan MPR, dan banyak hal lainnya tentang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari sekian banyak materi, satu yang sangat membekas bagiku hingga saat ini adalah ketika pelajaran tentang wawasan nusantara yang mengatakan: "Jika saudara-saudara kita di daerah lain sedang mengalami bencana dan kesulitan, itu juga berarti kita juga mengalami hal yang sama. Walau tidak kita kenal, kita harus bisa merasakannya".
Berlangsung selama dua minggu, dari pagi hingga petang (sehingga ada yang memelesetkan P4 menjadi Pergi Pagi Pulang Petang ...), kami ikut Pola 100 Jam. Kalau 'nggak salah, ada juga yang 50 Jam, 25 Jam, dan lainnya sesuai tingkat kebutuhan warga negara yang memang diwajibkan untuk mengikutinya. Tentu saja semangat di awal, yang hari-hari kemudian menjadi sangat membosankan (penceramah yang cenderung berpidato daripada inspirator, membuat dan membahas makalah yang sepertinya yang dibahas itu ke itu saja) dan meletihkan (karena nyaris duduk seharian dengan posisi patuh agar dinilai sebagai seorang Pancasilais).
Ya! Pancasilais adalah cap yang sangat populer dan favorit pada masa itu. Sebaliknya, cap tidak Pancasilais berarti malapetaka, karena bakal ada "hasil ikutannya" yang biasanya tidak mengenakkan. Â
Penataran P4 menjadi tren pembicaraan saat itu. Di semua kalangan, termasuk komunitas Batak kami di mana pada suatu hari salah seorang pemimpin senior berujar: "Kalau kita bangsa Batak ini tidak terlalu perlu kalilah ikut Penataran P4. Mau itu Pola 25 Jam, 50 Jam, apalagi 100 Jam. Tak perlu itu!". Kami yang mendengarnya kaget dan takut, bisa-bisa dituduh subversif dan anti Pancasila, 'kan?
"Tahu kenapa?", lanjutnya dengan suara lebih nyaring, "Karena kita sudah diciptakan Tuhan sebagai Pancasilais. Lihat wajahmu! Mukamu itu saja pun sudah menunjukkan kau Pancasilais. Ada segi lima terlihat di wajahmu.".
Secara spontan kami pun saling memandang wajah orang di sebelah masing-masing. Dan semua menjadi tertawa karena baru sadar melihat jidat, pipi, rahang, dan dagu yang memang "bersegi lima" ... Â
Itulah hal lain yang masih aku ingat, selain konsep wawasan nusantara yang memang sangat membekas sampai sekarang.
https://www.obatak.id/2015/02/wajah-masyarakat-batak-di-tahun-1910.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H