Mohon tunggu...
Pardomuan Gultom
Pardomuan Gultom Mohon Tunggu... Dosen - Dosen STIH Graha Kirana

Lecturer

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Antiklimaks Revisi Pasal "Karet" UU ITE

20 Mei 2021   14:52 Diperbarui: 20 Mei 2021   14:55 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Haatzai Artikelen ini, jika merujuk pada pendapat Prof. Simons tentang subjektivitas hukum pidana (Lamintang, 2019), merupakan hukum pidana subjektif (strafrecht in subjectieve zin) atau disebut ius puniendi, karena secara subjektif pemerintahan kolonial Belanda dimasa itu melaksanakan haknya untuk menghukum dengan mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan. Sementara peraturan yang dibuatnya itu tidak atau tanpa melibatkan rakyat jajahan.

Sifat status quo negara dalam upaya pembaruan hukum nasional, khususnya terhadap pasal-pasal "karet" Haatzai Artikelen belum menunjukkan niat yang baik. Hal ini tampak dari tetap dipertahankannya Haatzai Artikelen pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yakni Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1). Dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3), yang menjadi acuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah adalah ketentuan yang diatur dalam KUHP, yakni Pasal 310-320 Buku Kedua (Kejahatan) Bab XVI tentang Penghinaan.

Catatan terhadap ketentuan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah tak ada definisi apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik Hiariej, 2009). Karena itu, untuk menentukan apakah telah dipenuhinya unsur pencemaran nama baik harus merujuk Pasal 310 KUHP.

Selain itu, ada disparitas ancaman pidana cukup besar antara ketentuan Pasal 310 KUHP dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE. Terhadap pencemaran nama baik, Pasal 310 KUHP memberikan ancaman maksimum 9 bulan penjara atau denda tiga ratus rupiah. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE yang mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.

Gugatan Konstitusional

Perlindungan dan pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara telah diatur pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dan secara internasional, hak konstitusional ini juga merupakan hak asasi manusia yang terdapat dalam Pasal 18, 19, 21, dan 22 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenan on Civil and Political Rights/ICCPR).

Gugatan konstitusional terhadap pasal-pasal "karet" dalam KUHP telah berlangsung sejak tahun 2006. Setidaknya, MK telah memeriksa dan memutus 4 (empat) perkara terkait dengan pasal-pasal tersebut, yaitu Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 (pengujian Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP) yang diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis, Putusan Nomor 6/PUU-V/2007 (pengujian Pasal 107, Pasal 154, Pasal 155, Pasal 160, Pasal 161, Pasal 207, dan Pasal 208 KUHP) yang diajukan oleh Panji Utomo, Putusan Nomor 7/PUU-VII/2009 (pengujian Pasal 160 KUHP) yang diajukan oleh Rizal Ramli, dan Putusan Nomor 14/PUU-VI/2008 (pengujian Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP) yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis.

Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui bahwa delik penghinaan yang seringkali dijatuhkan kepada warga negara Indonesia yang menggunakan hak konstitusionalnya untuk menyatakan pikiran dan pendapat, serta mereka yang melakukan aktivitas penyebarluasan informasi. Di samping itu juga, ketentuan tersebut mudah disalahgunakan oleh mereka yang tidak menyukai kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers.

Asas Ultimum Remedium

Pada hakikatnya hukum konstitusi merupakan hukum yang tertinggi di Indonesia. Hal ini didasari dari konsep Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtstaat). Pencantuman sanksi pidana dalam undang-undang sebagai primum remedium sejatinya dapat mengakibatkan terlanggarnya hak-hak konstitusional warga negara Indonesia.

Mengutip pendapat dari H.G de Bunt dalam bukunya Strafrechtelijke Handhaving van Miliue Recht, hukum pidana dapat menjadi primum remidium jika korban sangat besar, tersangka/terdakwa merupakan recidivist, dan kerugian tidak dapat dipulihkan (irreparable). Kemudian disimpulkan oleh Remmelink, bahwa sangat jelas dan nyata sebagai sanksi yang tajam, hukum pidana hanya akan dijatuhkan apabila mekanisme penegakan hukum lainnya yang lebih ringan telah tiada berdaya guna atau tidak dipandang cocok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun