Pagi ini ditemani segelas O-cha (green tea Jepang) dan kue kering sisa lebaran, penulis memulai rutinitas kerja. Iseng aja mata ini terpaku pada sebuah gelas isi O-cha, oleh oleh seorang teman tempo hari.
Di gelas tersebut, ada beberapa kalimat bahasa Jepang, dan sebuah huruf kanji besar 心 (baca: kokoro, yang berarti ‘hati’ atau ‘perasaan’). Penasaran dibuatnya, penulis mencoba membacanya, dan melayanglah cerita selama bersilaturahim dengan saudara, teman dan tetangga sepanjang menyusuri waktu lebaran yag baru aja berlalu.
Setelah diamati, beberapa kalimat yang tertulis di gelas itu, berupa filosofi cara berinteraksi orang Jepang. Dan ternyata filosofi itu, bisa menjadi inspirasi bagaimana cara berinteraksinya orang Indonesia saat ini.
a. 「はい」という素直な心 “hai” to iu sunao-na kokoro
Jika kita maknai secara bebas, kalimat tersebut bermakna demikian. Ucapkan “hai” dengan ikhlas. Maksudnya, jika kita meyakini sesuatu, atau menerima suatu perintah, atau mendapatkan wejangan dari seseorang, sehingga kita memahaminya, maka ucapkan “ya” dengan hati yang ikhlas jangan hanya di bibir saya.
Saat lebaran, banyak pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran yang bikin hati ini berbunga bunga ataupun yang bikin hati ini sakit banget. Misal,
“Hati hati lho kalau mau cari suami,…jaman sekarang, mana ada laki-laki yang bisa dipercaya”
Padahal yang ngomong, bisa jadi dirinya juga seorang laki-laki,…nah lhooo. Kalau sudah begini, banyak orang mengiyakan, biar omongan tidak berketerusan.
b. すみませんという友者の心 sumimasen to iu yusha no kokoro
“Minta maaf” dengan tulus sebagai lambang persahabatan, jika kita merasa sudah menyakitinya. Lha ya ini, saat di antara kita ada konflik besar, sampai berbulan-bulan saling memendam, susah banget tuk memulai ucapkan maaf.
Tetapi, saat lebaran, gak ada kontak dengan yang bersangkutan pun, atau baru kenal pada saat itu pun kita bisa ucapkan minta maaf dengan ringan hati.
c. おかげさまという謙虚な心 okagesama to iu kenkyo-na kokoro
“Syukurlah, atas usaha anda juga”, dengan segala kerendahan hati diucapkan pada lawan interaksinya. Jika kita menelisik kalimat itu dalam bahasa Jepang, maka tidak akan ditemui unsur Ketuhanan. Jika dimaknai dari orang yang mengaku beragama, maka makna dari kalimat itu, kira kira demikian, “Berkat rahmat Yang Kuasa, saya ucapkan dengan segala kerendahan hati, sehingga bisa dapatkan yang saya inginkan”. Biasanya disambung dengan ucapan “Alhamdullillah, …..bla, bla,…”, sebagai respon adanya pertanyaan yang mengembirakan.
Tidak hanya itu, terkadang juga diucapkan seseorang sebagai sindiran tajam. Banyak yang memakainya untuk hal hal yang berlawanan maknanya dengan kondisinya.
d. させていただきますというの心 sasete itadakimasu to iu houshi no kokoro
Perasaan “melayani” tanpa pamrih ini menjadi landasan orang Jepang dalam bekerja. Apalagi jika kalimat ini menjadi slogan suatu instansi. Oleh sebab itu tidak jarang kita temui suatu pelayanan yang luar biasa dalam bidang jasa saat berkunjung ke Jepang. Tetapi tanpa pamrih yang bagaimana, sulit kita pahami. Karena semuanya memang melakukan berdasarkan aturan yang ada. Hal ini bisa terlihat jika kita mengamati keseharian mereka dengan cara tinggal di sana dan berinteraksi dengan intens untuk beberapa waktu lamanya.
Ini yang membedakan dengan orang orang Indonesia, masih bisa diketemukan orang-orang yang berbuat tanpa pamrih secara langsung, walaupun jarang sekali.
Apa yang dimaksud dengan ‘tanpa pamrih secara langsung’? Banyak dari kita yang berpikiran demikian, melakukan sesuatu dengan harapan balasan jatuh ke anak cucu, jika sekarang tidak mendapatkan secara langsung dari lawan interaksinya. Karena itu lebaran menjadi ajang jalin silaturahim yang tepat.
e. 有難うございますという感謝の心 arigatou gozaimasu to iu kansha no kokoro
Bagamana dengan ucapan “terima kasih”? dibandingkan dengan orang Indonesia, orang Jepang lebih susah atau lebih jarang mengucapkan “arigatou gozaimasu” (Terima kasih). Karena apa? Bagi mereka menerima sesuatu barang atau perbuatan itu, tidak cukup hanya dengan “terima kasih”, tapi lebih cenderung mengucapkan “sumimasen” (maaf). Karena dalam pikiran mereka, saat menerima sesuatu itu, hubungan itu tidak cukup berhenti saat itu saja.
Maksudnya, masih ada kelanjutannya, sesuai dengan arti harfiah sumimasen, yakni, ‘sesuatu yang belum tuntas’.
Dua hal inilah bisa kita sadari bahwa ada suatu beda pemikiran yang besar bagi orang yang mengakui keberadaa Tuhan. Karena saat “terima kasih”, bisa berarti Tuhan yang akan membalasnya.
Lima filosofi yang berlaku di masyarakat Jepang sebagai bekal untuk berinteraksi satu dengan yang lainnya ini, seberapa jauh masih berlaku? Dan seberapa jauh, mereka masih melakukannya sampai sekarang? Penulis tidak bisa memastikannya. Pada tulisan ini, penulis hanya coba berikan contoh kongkritnya dalam keseharian mereka.
Pas momen kita usai lebaran, ternyata banyak crita-cerita yang bisa kita bandingkan untuk refleksi kita bersama. Saat mengucapkan “ya”, sering kita pakai hanya sebagai tameng untuk menutupi sesuatu. Begitu juga dengan ucapan “minta maaf” yang terucap saat lebaran, ada kalanya ucapan itu hanya berperansebagai salam pembuka suatu interaksi.
Yang sangat berbeda antara Jepang dan Indonesia adalah ungkapan rasa syukur atas karuniaNYa. Ucapan yang berkaitan dengan Tuhan atau menyebut secara langsung kosa kata “Tuhan” tidak akan kita temui. Kemudian, pada hal yang berhubungan dengan melakukan sesuatu untuk orang lain, pada umumnya orang Indonesia ada satu pemikiran yang berhubungan dengan ‘tanpa pamrih secara langsung’. Pemikiran inilah yang menjadi alasan seseorang termotivasi untuk menjalin silaturahim, terutama saat lebaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H