[caption id="attachment_282846" align="aligncenter" width="657" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]
Apakah orang-orang Jepang gemar baca? Kenapa mereka terkesan gemar membaca? Rasa penasaran ini sering berkecamuk dalam kepalaku. Salah satu alasan mengapa mereka gemar baca aku temukan lagi pagi ini. Secara kebetulan hari ini aku berkondisi sama dengan mereka. Sama-sama keluar apartement saat hari masih gelap. Sama-sama berposisi sebagai pekerja full time, kebetulan selama beberapa hari, aku dikontrak sebagai penerjemah free lance di sebuah perusahaan. Dan sama-sama berada dalam kereta yang saling berhadapan tempat duduknya dalam waktu panjang, lebih dari satu jam. Posisi duduk dalam kereta seperti ini memudahkan aku untuk mengamati mereka dengan leluasa.
Kalau kita perhatikan, mereka itu bisa saja lho saling mengenal, diawali saling sapa, lanjut ngobrol. Tetapi mereka bukan orang-orang yang bertempat tinggal di kota-kota sekitar Metropolitan Jakarta. Kata seorang teman penumpang langganan KRL Jabotabek, karena seringnya bertemu, jam dan tempat naik-turunnya juga sama, bisa bikin kegiatan arisan dalam kereta.
Tetapi orang-orang Jepang itu, bukan orang-orang Indonesia yang miliki skill menyapa lebih dulu lawan bicaranya. Orang-orang Jepang masuk kereta dengan diam, dan suasana yang aku rasakan semakin terkesan dingin, lebih dingin dari hawa dingin winter yang mencapai puncaknya. Separuh dari mereka, begitu duduk langsung menundukkan kepala menuntaskan mimpinya yang tertunda. Yang lain, memainkan gadget. Dan yang lainnya lagi membuka buku.
Apakah mereka semua bener-bener konsentrasi ke bacaan yang dipegangnya? Tidak! Mereka ternyata lebih banyak tidur daripada baca. Karena mereka tidak pandai menyapa orang yang baru pertama kali dikenalnya, buku menjadi pelariannya. Bercengkerama atau bahkan hanya sekedar menyapa di tempat yang tidak semestinya, dianggap tidak beretika. Kendati pemandangan para pelajar yang saling bersenda gurau itu sering juga terlihat, jika kita melewati tempat yang banyak lokasi sekolah atau kampus bertepatan dengan waktu jam bubaran sekolah atau kampus.
Bagi orang-orang Jepang itu, yang terpenting adalah kebiasaan memegang buku. Dan kebiasaan ini mereka terapkan pada tahap sedini mungkin. Kegiatan acara pembacaan dongeng untuk usia pra sekolah, selalu diadakan dengan marak. Kegiatan membaca, sebelum pelajaran dimulai, wajib dilaksanakan pada masing-masing sekolah. Teringat masa-masa awal anakku masuk sekolah di SMP negeri Fujimatsu, karena belum bisa membaca huruf Jepang, dia selalu membawa novel remaja berbahasa Indonesia. Fasilitas perpustakaan, bikin ngiler. Sosialisasi buku-buku terbitan baru selalu gencar. Copy right penulis terpenuhi dengan baik. Dengan begitu harga buku menjadi sangat terjangkau, dikarenakan adanya perputaran yang baik dari penulis, penerbit dan penikmat buku.
Oleh sebab itu, tidak salah orang-orang Jepang memanfaatkan buku yang memang sangat lekat dengan kesehariannya untuk melarikan diri dari segala macam jenis keterbosanan. Kebiasaan memegang buku ini, tidak ada hubungannya dengan kebiasaan membaca. Karena buku yang dipegang itu, dibaca ataupun tidak, bukan masalah. Yang penting, hidup dengan dikelilingi buku.
Alangkah baiknya jika orang-orang segala lapisan masyarakat di Negara tercintaku juga memiliki hal yang sama, pasti akan lebih banyak lagi lahir manusia-manusia yang berkualitas. Karena pada dasarnya sebuah buku adalah pemotivasi terbesar untuk mendapatkan sebuah ide. Dengan cara hanya melihat punggung sebuah buku, sudah bisa mendapatkan sebuah inspirasi, tidak perlu memenuhi tuntutan untuk menuntaskannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H